Sabtu, 13 September 2008

Kepentingan Penerbit, Keinginan Peresensi

Oleh Anwar Holid

HUBUNGAN peresensi dengan penerbit ternyata cukup kompleks. Ini terjadi karena dalam diri peresensi terkandung beberapa aspek pembacaan dan kepenulisan, antara lain menyatu sekaligus sebagai pembeli (konsumen), pencinta (penikmat) buku, dan kritikus buku. Sementara kepentingan penerbit biasanya lebih langsung dan jelas, ialah harapan agar terbitannya diterima khalayak (pasar), diapresiasi dengan baik, dan cukup pantas untuk dibanggakan.

Mencari pola kerja sama yang pas dan fleksibel antara penerbit dan peresensi merupakan tema pertemuan peresensi Penerbit Matahati, yang diadakan di perpustakaan Bale Pustaka, Bandung, 28 Agustus 2008. Di awal berdiri, Matahati boleh jadi paling dikenal karena menerbitkan tetralogi Kisah Klan Otori (Lian Hearn.) Mereka kini menerbitkan fiksi dan nonfiksi, mulai dari genre fiksi fantastik sampai buku manajemen motivasi diri dan wawasan dunia medis. Hadirin hampir semua sekaligus merupakan blogger, dengan rentang kecenderungan antara sebagai desainer dan komikus, penulis buku dan cerpen, jurnalis, dan pendidik Buku dan tulisan sudah mengurat dalam diri mereka.

Mayoritas peresensi mengaku idealnya ingin meresensi buku yang benar-benar mereka sukai; artinya meresensi itu pada dasarnya sulit bila dipaksakan. Peresensi bahkan bisa suka rela dan senang akan meresensi buku yang mengesankan serta mampu menimbulkan impuls atau hasrat menulis. Biasanya, resensi yang lahir dari kondisi ideal itu akan persuasif, berhasil meyakinkan orang lain---terutama kawan dekat dan komunitas---bahwa pilihan dan penilaiannya tepat, dan secara alamiah merupakan tulisan yang bagus. Efeknya bisa luar biasa, antara lain menjadi word of mouth berbentuk tulisan yang sangat mempengaruhi keputusan beli pembaca. Rekomendasi kawan dekat ternyata bisa jauh lebih tepercaya dibandingkan endorsement pesohor (selebritas) sekalipun.

Boleh jadi pada kondisi seperti itulah kepentingan penerbit dan keinginan peresensi bertemu dan bernegosiasi. Penerbit berkepentingan agar produknya segera dikenal publik, diserap pasar, segera mendapat publikasi seluas mungkin, dan jadi topik pembicaraan kalangan yang disasar.

Minat terhadap jenis buku tertentu sangat berpengaruh terhadap kemauan peresensi dan mood menulis sebenarnya bisa dibentuk atau dilatih. Meski harus diakui peresensi pun bisa gagal menulis karena kurang disiplin dan profesional. Di sisi lain peresensi yang berdedikasi kerap butuh waktu untuk secara bersamaan menikmati dan menemukan inti buku, sebelum memutuskan mengulas dan menyatakan kepada publik apa buku tersebut pantas direkomendasikan atau malah dikomentari dengan pedas saking banyak hal yang bisa dikecam. Apa pun hasilnya, minimal peresensi menceritakan hasil pembacaannya. Itulah yang paling penting, bahwa sebuah buku sudah diselami, dijelajahi, masuk dalam ingatan, untuk suatu saat muncul lagi, baik dalam obrolan, berinteraksi dengan pembaca lain, atau ketika menulis.

"Keinginan menulis resensi bisa muncul begitu saja," kata Hermawan Aksan. "Ada dua jenis buku yang bisa membuat keinginan meresensi saya timbul, yaitu buku yang sangat bagus dan buku yang sangat jelek. Tentu saya berharap penerbit memproduksi buku yang bagus."

Di zaman Internet ini, peresensi yang terbiasa posting di blog (book blogger), milis, dan situs jaringan komunitas interaktif makin menemukan kekuatan daya tular. Situasinya kian hari tambah menantang dan menarik. Sebagian penulis lebih memilih media ini karena faktor kemudahan, kebebasan, informalitas, juga kemerdekaan dan sifat demokratisnya. Sudah terbukti bahwa media baru ini secara umum bisa meningkatkan publisitas buku, mempengaruhi penjualan dan reputasi, meski data resmi mengenai pengaruhnya sulit dipastikan. Sifat interaktivitas media ini memungkinkan orang langsung berkomentar, berbagi, merespons, menambah, dan mengaitkan dengan buku lain maupun subjek lain (misalnya film, musik, politik.) Di sinilah peresensi mendapat "surga", mereka bertemu dengan sesama pencinta buku.

Karakter penulisan blog yang berbeda dengan karakter media massa konvensional membuat sejumlah blogger yang mau meresensi dan menulis sesuai kriteria media tersebut merasa kerap kesulitan menembus ketentuan redaksi. Pada satu sisi, ini kerap dianggap sebagai kekurangan resensi di blog dan masih membuat penerbit pikir-pikir untuk melibatkan mereka dalam publisitas buku. Tapi bayangkan sebuah resensi yang dikirim ke milis dengan ribuan anggota atau bisa memicu respons antusias banyak orang di sebuah blog, tentu situasi seperti itu menggembirakan penerbit dan penulis bersangkutan.

Sudah terbukti tulisan di blog dan milis bisa menguatkan daya pikat buku dan menaikkan reputasi peresensi. Perhatian penerbit pada peresensi berkisar antara secara rutin mengirim buku baru dan sesuai favorit, memberi honor tambahan untuk resensi yang ditulis, dipublikasi, maupun disebar ke milis, sampai mengikat kontrak untuk jadi publisis penerbit atau judul tertentu. Mungkin menarik juga menimbang memberi insentif untuk online khusus demi mengirim resensi yang diinginkan penerbit.

Poinnya ialah apa pun bentuknya, penghargaan itu penting. Penerbit menghargai peresensi dengan pantas, pembaca merespons, sedangkan peresensi menghargai penerbit dan pembaca dengan resensi yang bagus dan informatif. Interaksi intens antara penerbit dan peresensi kerap merupakan kunci pengikat emosi kedua belah pihak.[]

Pertama kali dimuat di Republika, Minggu, 7 September 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar