Jumat, 20 Juni 2008

KOMPROMI = NEGOSIASI


Oleh Aminuddin Siregar
http://klubhausbuku.WordPress.com
Dalam bahasa manajemen, negosiasi itu dianggap sebagai formula bisnis yang bisa mempertautkan dua pihak yang mempunyai kepentingan sama. Negosiasi inilah kemudian yang disebut sebagai proses perundingan dan saling mengurangi tuntutan terhadap masing-masing pihak. Kemudian dapat mencapai suatu kesepakan, konsensus, dan keputusan-keputusan penting secara bersama.
Prinsip dari perundingan yang disebut negosiasi itu, biasanya saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Ia bukanlah pertarungan, yang saling mengalahkan dan mematikan, melainkan jalan penyelesaian yang saling mendukung satu dengan lainnya. Sehingga secara konkret tidak ada yang dirugikan, artinya perundingan itu berlangsung kondusif, lantaran saling menjaga integritas dan menggunakan pikiran yang jernih.
Meski begitu, ia tidaklah dikatakan kolusi, tetapi lebih pas dikatakan tawar-menawar, saling memberi dan menerima. Tentu saja negosiasi dilakukan dengan perhitungan cermat terhadap kemungkinan adanya resiko-resiko yang diakibtkannya. Namun, sedapat mungkin resiko itu mesti diminimalisir. Kalaupun membawa dampak, sepanjang tidak dalam arti merugikan, maka hal itu dapat ditolerir. Itu sebabnya mengapa dalam negosiasi ada tolerasni terhadap ambiguitas.
Dengan demikian, negosiasi dapat dikatakan, bukan saja sebagai formula tetapi juga sebagai alat yang digunakan dalam organisasi bisnis. Biasanya negosiasi dilakukan, oleh persaingan sehat. Ketika organisasi bisnis itu menghadapi jalan buntu dan sulit menembus, tujuan yang hendak dicapai. Misalnya saja, mengusahakan bahan baku, atau mendayagunakan kekuatan yang agak sukar dijangkau. Maka negosiasi dianggap relevan sebagai jalan damai menuju kesepakatan bersama. Hal itu legal saja, dan lumrah adanya.
Agaknya dalam dunia poltik, strategi negosiasi itu mungkin saja dilakukan.Walau barangkali tidak nampak secara nyata. Tetapi, dapat dirasakan kemunculannya dalam situasi politik tertentu. Barangkali pula bisa dicontohkan bahwa terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden ke-4 RI, merupakan hasil negosiasi politik. Melihat fenomena perpolitikan kita, negosiasi dapat dikatakan sama dengan kompromi. Dalam konteks kepolitikan, formula itu bisa saja terjadi.
Sebab dalam politik itu segalanya bisa menjadi mungkin, termasuk kemungkinan kompromi. Jadi tidak perlu heran, kalau misalnya, sekarang-sekarang ini, orang sudah mulai memperbincangkan soal wakil presidan bila Gus Dur mesti mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir hingga 2004 nanti. Bila dilihat dari tekanan politik yang sedemikian berat.
Atau boleh jadi Gus Dur dipaksa mundur oleh kekuatan politik tertentu. Apakah itu kekuatan politik massa publik atau bukan, kekuatan koalisi permanen atau tidak. Boleh jadi pula oleh lahirnya memorandum II. Bahkan bisa saja melalui Sidang Istimewa MPR, yang berujung pada pemilihan umum. Nampaknya, kedudukan presiden Gus Dur, kini sedang diguncang, bila tidak dikatakan terncam.
Lalu, mengapa kompromi politik tidak digunakan dalam dunia politik sebagai jalan penyelesaian konflik nasional yang kini tengah terjadi antara parlemen dengan pemerintah ? Bahwa kompromi politik itu dilakukan dengan prinsp-prinsip saling menghormati dan saling menghargai. Agaknya, bisa saja dilakukan, yang walau bagaimanapun juga, konflik nasional mesti segera diakhiri.
Dorongan Kultural
Melihat fenomena kehidupan politik kita, hingga hari kemaren-kemaren ini, hendaklah dikatakan bahwa kompromi politik merupakan dorongan kultural. Sebab, tentu saja kita semua tidak menghendaki kemungkinan terjadinya hal terburuk bagi bangsa ini. Karena itu, kompromi politik wajar saja dilakukan. Bukan saja oleh para aktor politik, melainkan juga oleh elit yang selama ini kurang harmonis.Begitu juga, kompromi ditingkat lokal untuk saling mengurangi tuntutan atas kejadian yang dialami beberapa daerah.
Sebenarnya, jika hal ini dilihat sebagai dorongan kultural, maka kompromi bisa dijadikan semacam jembatan untuk menghidari ironi politik yang tidak mendidik. Dan demi menghindari kerusuhan yang meluas, termasuk untuk mengantisipasi terulangnya pertarungan elit yang ujungnya mengakibatkan preseden buruk bagi generasi mendatang.
Rasanya, kompromi itu adalah jalan yang mesti ditempuh menuju kesepakatan damai dan mengakhiri sikap berseberangan yang lebar. Ini perlu kembali diingat, karena ia akan menjadi catatan sejarah perpolitikan kita. Kalau kompromi itu dilakukan dengan benar, maka akan kita temukan sejarah perpolitikan yang memiliki urgensi historis, kini dan di masa depan. Sebaliknya, bila kompromi berlangsung dengan cuek-cuek saja, nilai historisnya juga akan dicuekin..
Memang ada benarnya bahwa, kalau Gus Dur melepas jabatannya ditengah jalan, maka secara konstitusional Ibu Megawati Soekarnoputri akan jadi presiden. Namun lantaran politik itu selalu tidak dapat diduga dan kalau kemudian, ternyata apa yang ramai dibicarakan sekarang sebagai kandidat wakil presiden mendampingi Ibu Megawati Soekarnoputri, --bila nantinya Ibu Mega sungguh-sungguh jadi presiden-- bisa saja bukan orang yang disebut-sebut itu, yang muncul sebagai wakil presiden.
Bahkan bisa saja muncul kemungkinan terburuk, bahwa Ibu Mega sendiri pun tidak memperoleh apa-apa. Apalagi sekarang-sekarang ini, sebagaian orang berpendapat bahwa Ibu Mega dianggap tidak bisa pimpin negara. Pendapat itu telah beredar luas. Meskipun tentu saja Ibu Megara tidak akan terpengaruh dengan segala macam estimasi, prediksi dan ramalan yang dibuat secara terbuka itu.
Jalan Tengah
Jadi, sudah saatnya memang, untuk membuka jalan baru melalui dialog menuju kesepakatan dan konsensus yang bisa diterima semua pihak dan kalangan. Kemudian dapat dimunculkan suatu formula baru bagi kehidupan politik itu sendiri. Atau suatu keharmonisan, termasuk kedamaian, dan mungkin juga keteraturan poltik. Kalaulah hal-hal demikian itu dapat dihadirkan dipentas perpolitikan kita. Maka besar kemungkinan dapat mengantisipasi ancaman munculnya hal terburuk, yang merugikan semua pihak.
Sayangnya, politik itu cenderung tidak memihak pada kebenaran, tatpi acapkali, justru memihak pada kekuasaan. Sehingga, agak sulit untuk dikatakan, bahwa kompromi politik itu berlangsung fair,jujur, santun dan lugas. Apalagi bila kompromi itu tidak dilahat sebagai dorongan kultural yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dan nilai-nilai kemanusiaan, yang sebenarnya mesti dijunjung tinggi.
Bahkan lebih celaka lagi, bila kompromi politik itu tidak disikapi sebagai jalan tengah yang dapat menyelesaikan perseteruan atau perbedaan pandangan politik. Bila demikian halnya, maka akibat yang ditimbulkannya, anatara lain ialah, sulitnya melakukan persambungan poltik dan mahalnya harga dari sebuah keberlangsungan saling berinteraksi.
Tentu saja pendapat ini bukalah pendapat seorang pakar, meliankan dilahat dari kaca mata awam, orang biasa, dan yang tidak punya akses untuk menjangkau kepentingan politik apapun. Ini hanya sekadar urun rembug, siapa tahu, justru ini dianggap sebagai inteligensia praktis, yang mungkin saja berguna dalam pencarian makna kompromi politik itu sendiri.
Sehingga, kita tetap bisa berharap agar situsi dan tekanan politik seperti hari-hari belakangan ini segera berakhir. Kompromi politik itu sendiri berjalan sebagaimana mestinya. Tidak saja untuk memberi salam kepada Gus Dur, tetapi adanya titik-titik temu yang menggembirakan semua pihak. Baik mereka yang berseberangan, beda pandangan maupun bagi siapa saja, yang ingin dan menghendaki stabilitas politik, keteraturan poltik, keharmonisan yang kondusif, serta kedamaian yang membawa bangsa ini lebih maju lagi dalam berbagai bidang kehidupan. Bukan saja dalam bidang politik tetapi juga dalam bidang sosial kemasyarakatan. Sehingga masyarakat mampu secara kreatif dan lebih cerdas menyerap perkembangan kultural yang tengah terjadi. Itu saja.

Penulis adalah Staf Pengajar Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi

Seruan Pengusaha Dunia Soal Emisi

Diperbaharui pada: 20 Juni, 2008 - Published 10:33 GMT
Email kepada teman Versi cetak

Para pemimpin bisnis dunia mendesak kelompok negara industri maju G-8 agar menjadi pelopor isu pemanasan global dengan menetapkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membentuk pasar karbon.
Mereka menyatakan emisi seyogyanya dipangkas sebesar setengah paling lambat tahun 2050, dan teknologi bersih digalakkan untuk mencapai target tersebut.
Para pemimpin bisnis menentang target wajib yang diperjuangkan para aktivis lingkungan dan bersikukuh bahwa semua perekonomian besar, termasuk Cina dan India, disertakan dalam kesepakatan baru.
Rekomendasi tersebut diusulkan oleh 99 perusahaan besar dunia. Mereka termasuk maskapai penerbangan Inggris British Airways, raksasa energi EDF, bank Jerman Deutsche Bank dan raksasa perminyakan Shell.
Rekomendasi mereka diserahkan kepada Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda, yang akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak G-8 di Hokkaido bulan depan.