Minggu, 12 Oktober 2008

Buku jadi Gaya Hidup, Itu Perlu!


Dari : Info Galangpress info.galangpress@gmail.com

Mungkinkah buku menjadi gaya hidup (life style)? Jawabannya mantap,
"Ya, bisa!", kata Mardiyanto, editor Galangpress dalam acara
Roundtable PRO 2 RRI Jogja (15/09) yang dipandu Erna dan Luluk.
Saat ini penerbitan buku sedang menggeliat, banyak buku-buku hadir dan
bisa menjadi panduan hidup bagi semua orang. Hadirnya buku-buku how
to, novel religi, dan makin variatifnya pilihan judul buku membuat
pembaca bisa bebas memilih buku.

Ya, dalam kehidupan saat ini me'life style-kan buku bukanlah omong
kosong bak impian di siang bolong. Lihat saja, awalnya minum kopi
hanyalah cara agar tahan dari rasa kantuk, tapi coba sekarang minum
kopi bukan lagi untuk mencegah kantuk tapi juga ajang kumpul-kumpul
dan diskusi, akhirnya minum kopi malah menjadi gaya hidup baru para
mahasiswa dan eksekutif muda.

Jadi, mengapa buku tidak! Setiap hari kita habiskan pulsa dan saban
akhir pekan menyatroni J.Co, KFC, Hoka Hoka Bento, dan sebagainya.
Mengapa kita menyatroni toko-toko buku saja, berburu buku menarik dan
inspiratif. Hal inilah yang mesti ditumbuhkan pada masyarakat,
kesadaran, bahwa ada kekayaan terpendam di dalam sebuah buku. Buku
adalah jendela dunia, dari sebuah buku kita bisa menemukan ide,
gagasan, bahkan bergegas bertindak setelah membacanya. "Jika ada 6
anak saja di sekolah yang setiap minggu sekali mengunjungi toko buku
maupun perpustakaan dan menebarkan virusnya kepada kawannya, bukan
tidak mungkin satu kelas akan keranjingan membaca," kata Mardiyanto.

Sudaryanto, seorang aktifis Forum Lingkar Pena (FLP) Jogja juga yakin
bahwa ke depan dunia kepenulisan dan budaya membaca akan semakin
semarak. Jika semua orang ke mana-mana menenteng buku, pastilah buku
telah menjadi gaya hidup seperti halnya di negara-negara maju.

Plus Bedah Buku

Dalam acara berdurasi 180 menit itu juga diadakan bedah buku dari
penerbit Pustaka Marwa (Galangpress Group) buku berjudul "Tahajud
Energi Sejuta Mukjizat" yang menghadirkan Muhammad Thobroni (penulis).
Dalam buku setebal 155 hlm tersebut M. Thobroni lebih banyak
mengungkapkan kisah menarik di seputar Tahajud, seperti tahajudnya
seorang mahasiswa ketika akan menghadpi ujian, tahajudnya seorang
pengangguran dalam perjuangannya mendapatkan pekerjaan, tahajudnya
seorang yang ingin mencari jodoh, dan sebagainya. "Jadi, buku saya ini
lebih banyak berisi kisah yang menggugah daripada tatacara dan rakaat
shalat tahajud", kata M. Thobroni.

Dalam acara tersebut antusiasme pendengar cukup banyak, terbukti
banyak telepon dan sms yang masuk ke PRO 2. Ke depan menurut Erna dan
Luluk kegiatan semacam bedah buku dan diskusi akan mendapat tempat di
masyarakat. Langkah ini tentu saja untuk membiakkan makin menjamurnya
minat masyarakat kita terhadap budaya gemar membaca. Dan kerja sama
dengan Galangpress akan terus berlanjut. Salut deh ....dan kita tunggu
(mrd)

Salam dahsyat, Galangpress Groups, www.galangpress.com, www.galangpress.wordpress.com

Sabtu, 13 September 2008

Kepentingan Penerbit, Keinginan Peresensi

Oleh Anwar Holid

HUBUNGAN peresensi dengan penerbit ternyata cukup kompleks. Ini terjadi karena dalam diri peresensi terkandung beberapa aspek pembacaan dan kepenulisan, antara lain menyatu sekaligus sebagai pembeli (konsumen), pencinta (penikmat) buku, dan kritikus buku. Sementara kepentingan penerbit biasanya lebih langsung dan jelas, ialah harapan agar terbitannya diterima khalayak (pasar), diapresiasi dengan baik, dan cukup pantas untuk dibanggakan.

Mencari pola kerja sama yang pas dan fleksibel antara penerbit dan peresensi merupakan tema pertemuan peresensi Penerbit Matahati, yang diadakan di perpustakaan Bale Pustaka, Bandung, 28 Agustus 2008. Di awal berdiri, Matahati boleh jadi paling dikenal karena menerbitkan tetralogi Kisah Klan Otori (Lian Hearn.) Mereka kini menerbitkan fiksi dan nonfiksi, mulai dari genre fiksi fantastik sampai buku manajemen motivasi diri dan wawasan dunia medis. Hadirin hampir semua sekaligus merupakan blogger, dengan rentang kecenderungan antara sebagai desainer dan komikus, penulis buku dan cerpen, jurnalis, dan pendidik Buku dan tulisan sudah mengurat dalam diri mereka.

Mayoritas peresensi mengaku idealnya ingin meresensi buku yang benar-benar mereka sukai; artinya meresensi itu pada dasarnya sulit bila dipaksakan. Peresensi bahkan bisa suka rela dan senang akan meresensi buku yang mengesankan serta mampu menimbulkan impuls atau hasrat menulis. Biasanya, resensi yang lahir dari kondisi ideal itu akan persuasif, berhasil meyakinkan orang lain---terutama kawan dekat dan komunitas---bahwa pilihan dan penilaiannya tepat, dan secara alamiah merupakan tulisan yang bagus. Efeknya bisa luar biasa, antara lain menjadi word of mouth berbentuk tulisan yang sangat mempengaruhi keputusan beli pembaca. Rekomendasi kawan dekat ternyata bisa jauh lebih tepercaya dibandingkan endorsement pesohor (selebritas) sekalipun.

Boleh jadi pada kondisi seperti itulah kepentingan penerbit dan keinginan peresensi bertemu dan bernegosiasi. Penerbit berkepentingan agar produknya segera dikenal publik, diserap pasar, segera mendapat publikasi seluas mungkin, dan jadi topik pembicaraan kalangan yang disasar.

Minat terhadap jenis buku tertentu sangat berpengaruh terhadap kemauan peresensi dan mood menulis sebenarnya bisa dibentuk atau dilatih. Meski harus diakui peresensi pun bisa gagal menulis karena kurang disiplin dan profesional. Di sisi lain peresensi yang berdedikasi kerap butuh waktu untuk secara bersamaan menikmati dan menemukan inti buku, sebelum memutuskan mengulas dan menyatakan kepada publik apa buku tersebut pantas direkomendasikan atau malah dikomentari dengan pedas saking banyak hal yang bisa dikecam. Apa pun hasilnya, minimal peresensi menceritakan hasil pembacaannya. Itulah yang paling penting, bahwa sebuah buku sudah diselami, dijelajahi, masuk dalam ingatan, untuk suatu saat muncul lagi, baik dalam obrolan, berinteraksi dengan pembaca lain, atau ketika menulis.

"Keinginan menulis resensi bisa muncul begitu saja," kata Hermawan Aksan. "Ada dua jenis buku yang bisa membuat keinginan meresensi saya timbul, yaitu buku yang sangat bagus dan buku yang sangat jelek. Tentu saya berharap penerbit memproduksi buku yang bagus."

Di zaman Internet ini, peresensi yang terbiasa posting di blog (book blogger), milis, dan situs jaringan komunitas interaktif makin menemukan kekuatan daya tular. Situasinya kian hari tambah menantang dan menarik. Sebagian penulis lebih memilih media ini karena faktor kemudahan, kebebasan, informalitas, juga kemerdekaan dan sifat demokratisnya. Sudah terbukti bahwa media baru ini secara umum bisa meningkatkan publisitas buku, mempengaruhi penjualan dan reputasi, meski data resmi mengenai pengaruhnya sulit dipastikan. Sifat interaktivitas media ini memungkinkan orang langsung berkomentar, berbagi, merespons, menambah, dan mengaitkan dengan buku lain maupun subjek lain (misalnya film, musik, politik.) Di sinilah peresensi mendapat "surga", mereka bertemu dengan sesama pencinta buku.

Karakter penulisan blog yang berbeda dengan karakter media massa konvensional membuat sejumlah blogger yang mau meresensi dan menulis sesuai kriteria media tersebut merasa kerap kesulitan menembus ketentuan redaksi. Pada satu sisi, ini kerap dianggap sebagai kekurangan resensi di blog dan masih membuat penerbit pikir-pikir untuk melibatkan mereka dalam publisitas buku. Tapi bayangkan sebuah resensi yang dikirim ke milis dengan ribuan anggota atau bisa memicu respons antusias banyak orang di sebuah blog, tentu situasi seperti itu menggembirakan penerbit dan penulis bersangkutan.

Sudah terbukti tulisan di blog dan milis bisa menguatkan daya pikat buku dan menaikkan reputasi peresensi. Perhatian penerbit pada peresensi berkisar antara secara rutin mengirim buku baru dan sesuai favorit, memberi honor tambahan untuk resensi yang ditulis, dipublikasi, maupun disebar ke milis, sampai mengikat kontrak untuk jadi publisis penerbit atau judul tertentu. Mungkin menarik juga menimbang memberi insentif untuk online khusus demi mengirim resensi yang diinginkan penerbit.

Poinnya ialah apa pun bentuknya, penghargaan itu penting. Penerbit menghargai peresensi dengan pantas, pembaca merespons, sedangkan peresensi menghargai penerbit dan pembaca dengan resensi yang bagus dan informatif. Interaksi intens antara penerbit dan peresensi kerap merupakan kunci pengikat emosi kedua belah pihak.[]

Pertama kali dimuat di Republika, Minggu, 7 September 2008.

Ayo Nikmati Efek Dahsyat Membaca !!!

Ayo Nikmati Efek Dahsyat Membaca!!!

Setelah melakukan shalat dhuhur ke 9 di bulan Ramadhan 1429 H, Hernowo didapuk untuk menyampaikan materi ter”anyar”nya yaitu “Menulislah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit”. Buku ke 33 yang ditulisnya ini merupakan serangkaian buku tentang menulis lainnya yang sudah dituliskannya dalam usianya yang sudah memasuki kepala 4 ini.

Meskipun di Bulan Ramadhan, namun saya merasa menjadi salah satu orang yang paling beruntung untuk menyaksikan dan melihat semangatnya yang menggebu-gebu dalam menyampaikan materi yang ia tulis tersebut. Bahkan, sampai sekarang Hernowo Tak pernah berhenti dalam memberikan wawasan kepada setiap orang yang dijumpainya dalam setiap training atau ceramahnya. Ya, materi yang disampaikannya sebagian besar adalah tentang membaca dan menulis.

Dalam pemaparannya Hernowo mengungkapkan tentang pentingnya membaca. Kenapa Penting? Karena banyak orang yang menganggap bahwa kegiatan membaca itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak luar biasa, dahsyatnya membaca ini menurutnya jarang disentuh -terutama untuk orang-orang yang awam. Padahal wahyu pertama yang turun dari Allah kepada Rasulullah Saw adalah surat Al-'Alaq, yaitu Iqra.... (Bacalah).

Kalo saja kita sering meluangkan waktu, banyak hal yang dapat dimanfaatkan dengan membaca. Karena banyak sekali buku yang dengan jenis fiksi dan non fiksi (novel, biografi, sains fiction, psikologi, filsafat dll), yang memberikan dan menawarkan sesuatu yang baru. Begitu juga bagi Mas Hernowo. Dalam bukunya ini, beliau banyak menuliskan buku-buku dan para penulis yang mempengaruhinya. Ada Quantum Learning, Laskar Pelangi dgn Andrea Hirata, Harry Potter dgn JK Rowling, Dr. Howard Garrdner dengan teori Multiple Intelliegences, Rhenald Kasali, R.T. Kiyosaki, Stephen R. Covey dll. Ia merasa seperti diajak mengembara ke tempat-tempat yang jauh, dan memiliki banyak sekali kehidupan.

Menurut Edward Coffey -yang saya kutip dari buku membacalah Agar dirimu Mulia-
Kegiatan membaca yang dpt diselenggarakan secara kontinyu dan konsisten dapat menciptakan lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti-rugi perubahan otak. Oleh karenanya proses membaca itu dapat menggantikan sel-sel yang mati di dalam otak kita karena tidak pernah dipergunakan, untuk kemudian menjadi sel baru yang lebih hidup.

Ketika Mas Hernowo memberitahukan tentang minat baca di Indonesia yang masih nol persen, salah seorang Audience di Mesjid Bio Farma merasa getir. Ia yang pernah merasakan hidup di Negeri Sakura, terkagum-kagum melihat semangat membaca masyarakat Jepang. Karena setiap hari, setiap saat, setiap orang yang ditemuinya, benar-benar tidak dapat dilepaskan dari buku. Dari mulai anak-anak sampai dengan orang dewasa. Dari mulai mengantri untuk mendapatkan kereta, menunggu panggilan di tempat praktek dokter, sampai dengan menunggu tibanya kereta di tujuan. Setiap orang terlihat bersemangat dalam membaca.

Budaya baca di Indonesia makin tergerus oleh media-media elektronik yang terus menerus menggempur kita. Bahkan dengan terus berkembangnya arus informasi serta teknologi, maka kebanyakan kita belum siap untuk mengantisipasinya. Seperti teknologi televisi misalnya, para pemilik stasiun televisi berlomba-lomba untuk mendapatkan jatah kue iklan untuk masing-masing stasiun tv-nya. Bahkan seringkali, banyak program tayangan mereka yang tidak mendidik. Kita-lah (para orangtua, para pendidik dan yang lainnya) yang harus memiliki filter agar mengalihkan kenikmatan menonton dengan kenikmatan membaca. Karena membaca -menurut mas Hernowo - adalah sebuah keterampilan sebagaimana memasak atau juga menyetir mobil. Dengan membiasakan membaca setiap hari selama 10-15 menit, tentunya kemampuan membaca kita akan terus meningkat.

Akhirnya setiap diri kita dituntut untuk dapat merasakan efek dahsyat dari membaca ini. Dan di dalam buku Membacalah Agar Dirimu Mulia ini, Hernowo memberikan semua informasi yang kita butuhkan tentang membaca. Bahkan saya sendiri merasa sedang kembali di charge untuk mengembalikan kenikmatan-kenikmatan itu agar kembali bersarang di dalam jiwa saya, sehingga dipenuhi oleh gairah-gairah membara.

Rayakanlah Kegiatan Membaca Anda. Berbanggalah Bahwa Diri Anda Telah Menjalankan Kegiatan Yang Mulia Teruslah Membaca. Hernowo. Salam, Agga

Jumat, 12 September 2008

Cara Mencapai Puncak Tujuan Membaca

TIMBANGAN BUKU
Sumber : Harian Kompas Minggu, 2007
Oleh ONI SURYAMAN
Membaca adalah symbol sebuah peradaban. Ia membedakan peradaban maju dengan primitive, antara Negara maju dan Negara berkembang. Melihat begitu pentingnya membaca, ia pun dijadikan salah satu indeks bagi pembangunan manusia, yang sering dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan sebuah Negara.

Membaca memiliki tiga fungsi. Pertama, memberikan informasi, misalnya dengan membaca Koran dan majalah. Yang kedua, memberikan hiburan, misalnya dengan membaca novel. Yang ketiga, yang paling penting tetapi sekaligus paling sulit, memberikan pengertian. Sebuah buku bisa saja memberikan pengertian sekaligus menghibur dan memberikan informasi.

Modernisasi telah menawarkan substitusi bagi kegiatan membaca, dengan lahirnya media audio-visual. Kehadiran audio-visual membuat informasi menjadi lebih “nyata” ketimbang membaca, tetapi di lain pihak mengurangi bahkan meniadakan daya cerna pemirsa. Sesuatu yang mutlak dibutuhkan dalam membaca untuk mencari pengertian.

Dalam keadaan seperti inilah buku ini hadir, mengingatkan kita akan pentingnya membaca untuk mencari pengertian dan mengajari kita bagaimana melakukannya. Membaca seperti inilah yang menjadi tonggak peradaban.

Pendidikan seumur hidup
Membaca mendapatkan pengertian adalah pendidikan seumur hidup secara intelektual. Sekolah semestinya mengajarkan hal ini secara berjenjang. Dengan demikian, setelah lulus dari sekolah lanjutan, seseorang sudah bisa menikmati dan memahami hamper semua bacaan, dan menjadi pembelajar seumur hidup.

Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Banyak mahasiswa yang masih kesulitan membaca di level ini, bahkan sarjana pun masih banyak yang kedodoran. Akibatnya mereka berhenti belajar, begitu selesai dari sekolah

Manfaat sesungguhnya dari membaca pun disia-siakan, menjadi sekadar untuk membaca buku teks, Koran, bukan untuk membaca buku. Ini terbukti dari angka penjualan buku non-fiksi, khususnya sains, baik ilmu alam maupun ilmu social, yang masih rendah. Hal ini tidak berimbang dengan oplah surat kabar, majalah, dan buku fiksi yang jauh lebih tinggi. Inilah bukti bahwa orang baru bisa menikmati bacaan untuk informasi dan hiburan, belum untuk menemukan pengertian.

Tahapan Membaca
Buku ini menjelaskan cara meningkatkan kemampuan membaca secara berjenjang: membaca dasar, inspeksional, analitis, dan sintopikal (tematis), dan juga sejumlah tes sesuai jenjang itu. Tahapan-tahapan ini harus dijalani secara beruntun karena tidak mungkin untuk maju ke tahap berikut tanpa menguasai tahapan sebelumnya.

Tingkat yang pertama adalah membaca dasar, yang semua kita sudah kuasai, yaitu mengeja, membaca kata dan kalimat menerjemahkan symbol menjadi sebuah bunyi yang bermakna. Membaca tingkat ini semestinya dikuasai seseorang sesudah menamatkan sekolah dasar. Ini ditandai dengan kemampuan membaca yang lancer tanpa patah-patah, dan kemampuan membaca di dalam hati (silint reading).

Bagian berikutnya adalah membaca inspeksional. Sekilas membaca inspeksional dapat disamakan dengan membaca cepat. Namun, bukan itu yang dimaksud buku ini. Membaca inspeksional adalah membaca sekilas, atau selayang pandang, secara sistematis sambil mengajukan pertanyaan kepada teks yang kit abaca dan berusaha menjawabnya selagi kita membaca.

Ada dua manfaat yang bisa didapat dari membaca sekilas ini. Yang pertama, untuk menentukan apakah buku itu layak atau tidak untuk kit abaca secara lebih mendalam. Dalam contoh praktisnya adalah untuk menentukan apakah buku itu layak kita beli atau pinjam. Yang kedua adalah mendapatkan ide dasar dari buku tersebut, tanpa harus mendalami detailnya. Ini sangat membantu jika nantinya kita mau mendalami buku ini lebih lanjut, atau kalau kita sekadar ingin tahu garis besar buku tersebut.

Dalam level ini juga kita belajar bagaimana membuat catatan kaki, coretan-coretan, yang nantinya akan membantu kalau ingin membaca buku tersebut secara lebih mendalam. Beberapa tips menarik diberikan untuk membantu memilih bahan bacaan yang baik.

Orang sering terjebak pada level ini, yaitu membaca cepat, karena menganggap inilah level pencapaian tertinggi dalam membaca. Adler menunjukkan bahwa membaca buku seharusnya dengan kecepatan yang sesuai. Buku atau bagian bacaan yang seharusnya dibaca dengan cepat jika kit abaca dengan perlahan akan menghabiskan waktu dengan percuma.

Berikutnya adalah membaca analitis. Inilah membaca dalam arti sesungguhnya. Dalam tahap ini kita “mengunyah dan mencerna” bacaan, menjadikannya bagian dari diri kita. Keterampilan tahap ini seharusnya dimiliki para lulusan SMA dan atau S1. Ia bisa menyarikan, memaparkan kembali, maupun mengkritik sebuah bacaan.

Teknik membaca analitis menduduki porsi terbanyak di dalam buku ini karena pada tahapan inilah membaca menjadi aktivitas yang komprehensif, melibatkan semua upaya pikiran, dalam mendalamibacaan. Memang, membaca pada level ini akan melelahkan, tetapi hasil yang diperoleh sungguh sebanding dengan upaya yang dicurahkan.

Dan terkahir adalah membaca sintopikal, membaca beberapa buku dalam tema yang sama, membandingkan, menganalisis, menyintesis, mereka menjadi sebuah ide yang baru. Kemampuan ini semestinya dimiliki seorang sarjana karena menulis skripsi berdasarkan studi kepustakaan sangat memerlukan keterampilan membaca level ini.

Puncaknya, Adler mengajak pembaca untuk terus menerus meningkatkan kemampuan membaca mereka dengan merekomendasikan sejumlah judul buku yang “layak” dibaca, dan memaparkan manfaat membaca bagi pertumbuhan otak.

Pendidikan “liberal arts”
Sesungguhnya Adler menyusun buku ini di dalam kerangka pendidikan liberal arts yang tidak lagi menjadi warna utama dalam pendidikan, seperti pada beberapa abad lampau. Ini adalah pendidikan generalis, yaitu menguasai kecakapan intelektual dasar agar dapat memahami dan mendalamisenua bidang ilmu.

Pada abad pertengahan seorang sarjana atau baccalaureate menguasai tiga kemampuan liberal arts yang disebut trivium, yaitu gramatika, logika dan retorika, dan empat kemampuan berikutnya yang disebut quadrivium, yaitu aritmatika, musik, geometri, dan astronomi.

Pendidikan saat itu belum menjadi spesialis seperti sekarang. Spesialisai memberikan kemajuan cepat yang bisa kita nikmati, tetapi juga membuat kita kehilangan kemanusiaan, yang bisa dicapai dengan menjadi seorang generalis.

Adler adalah pembelajar mandiri. Ia menjalani pendidikan klasik secara otodidak, setelah drop-out dari sekolah menengah. Ia kuliah di Universitas Columbia sampai akhirnya dianugerahi gelar doctor filsafat, lalu mengajar filsafat di Universitas Chicago. Bersama dengan Robert M Hutchins mereka menjadi pilar liberal arts modern.

Mereka membuat proyek Great Books of Western Civilizations yang merangkum karya-karya litertur, sains, social sains dan filsafat yang paling berpengaruh dalam peradaban Barat, serta mengompilasinya sehingga bisa diakses oleh pembaca awam. Sesudah membacanya, seseorang diharapkan terlibat dalam Great Conversation, urun rembuk dalam perkembangan peradaban dunia.

Buku ini adalah gerbang studi mandiri seumur hidup bagi siapa pun yang ingin mendalami bidang apa saja: sastra, filsafat, sejarah, ilmu alam, ilmu social, matematika, dan lain-lain. Studi seperti ini bisa dijalani oleh siapa saja, yang berniat dan mau berusaha. Darisinilah diharapkan muncul kelas menengah terdidik, yang menjadi pilar dari sebuah Negara demokrasi yang kokoh.

Mungkin, itulah sebabnya Jaques Barzun, seorang budayawan, ilmuan dan pendidik besar Amerika menyebut buku ini “wajib dibaca bagi aiapa pun yang peduli masa depan budaya bangsanya”. Gus Dur menyebut buku ini “sebuah contoh terbaik karya kreatif… yang memampukan kita memahami masalah secara berimbang”. ONI SURYAMA, Cak Tarno Institut

Negosiasi Politik Menjelang Helat Demokrasi

Oleh Aminuddin Siregar

Kevin Kennedi, penulis buku Negosiasi Yang Eefektif, berpendapat bahwa, negosiasi itu lebih merupakan suatu seni ketimbang ilmu pengetahuan. Sebab setiap orang dapat meningkatkan keterampilannya dalam melakukan negosiasi. Tidak saja untuk mendapatkan solusi, tetapi juga untuk menemukan hasil optimal yang disebut sebagai win-win slution. Hasil menang-menang inilah yang juga diinginkan sebagai puncak tertinggi tujuan sebuah negosiasi apa pun saja.

Benar, bahwa negosiasi, banyak dipraktikkan di dunia usaha dan bisnis. Namun, kini negosiasi tidak saja dikenal dalam dunia bisnis, tetapi juga di dunia politik dan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu tidak mengherankan, jika menjelang helat akbar atau pesta demokrasi 2009 mendatang ini akan terjadi negosiasi politik. Suatau hal yang wajar saja terjadi.

Kalau negosiasi lebih menekankan pada seni, maka sama halnya ketika seseoarang menekuni seni, misalnya seni lukis, seni musik, atau seni tari. Di mana seseorang dituntut agar memiliki daya kreatif dan kemampuan berekspresi. Termasuk penguasaan komunikasi politik. Karena memlalui komuikasi politik itulah warna kepolitikan kian nampak jelas.

Selain itu, seorang negosiator juga memiliki kemampuan menggunakan imajinasi. Ia adalah orang yang boleh dikatakan seorang creator. Apakah itu untuk keperluan politik ataupun bisnis. Umumnya mereka juga adalah orang yang cekatan terampil menggunakan bahasa tubuh. Maksudnya mereka tidak saja menggunakan otak kiri, tetapi juga memanfaatkan untuk masuk dari kanan.

Sehingga, seni bernegosiasi yang ditampilkan tidak terlihat kacau-balau, sumbang, dan semacamnya. Tetapi nampak mulus, rapid an teratur, ritmis, santun dan amat lugas. Keluwesan seperti inilah juga menjadikan politik sebagai seni dari segala yang mungkin. Dalam kaitan itu pula politik nampak kian berirama, dan ketukan tempo yang mengundang hasrat berpolitik.

Sayangnya hasrat itu seringkali diarahkan pada hasrat tertinggi, yakni berkuasa. Kalau ini yang terjadi, maka irama itu menjadi tidak lagi enak didengar. Orang kemudian menaksir-naksir dan membuat sejumlah asumsi dan kalkulasi politik. Akibatnya bisa macam-macam, dan banyak hal terlupakan, seperti lupa kepada kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Begitu juga halnya ketika seseorang melakukan negosiasi politik. Biasanya menjelang helat demokrasi, seperti pemilu 2009 mendatang ini, akan hadir negosiator-negosiator politik, sekurangnya untuk membentuk koalisi. Bila tidak dikatakan untuk meraih sebanyak mungkin suara. Tanpa peduli dengan apa yang telah dijanjikan kepada setiap konstituwen dan rakyat pada umumnya.

Dalam konteks itu negosiator telah mengalihkan model kepolitikan, yang seringkali tidak lagi disenangi orang. Padahal ketika negosiasi politik dilakukan, unsur kreasi politiklah yang perlu dinampakkan dan semua janji dan program politik partai dilaksanakan secara konsisten dan penuh komitmen yang mengikat rakyat.

Tentu saja kita percaya kepada politisi mana pun mengetahui hal itu. Mereka juga orang yang sangat jeli melihat peluang politik untuk bisa tampil. Para pemain politik juga adalah orang yang sangat mampu berempati. Buktinya, mereka tidak saja piawai merangkul lawan politik tetapi juga kompeten untuk berkoalisi secara baik dan benar, hingga mendapat sanjungan dari sana sini.

Namun, tidak sedikit kita jumpai, kalau menjelang pemilu seperti sekarang ini orang tiba-tiba saja jadi negosiator, dan punya kemampuan bernegosiasi. Baik yang secara alami tumbuh maupun lahir dari pengalaman, maupun dimunculkan lewat kaderisasi melalui proses panjang dan waktu cukup lama, kemudian pengalaman itu berkembang dan tumbuh dalam diri seseorang sebagai politisi.

Karena itu keterampilan bernegosiasi bisa lebih berhasil. Kesuksesan itu akhirnya membawa seseorang pada pemahaman dan pengetahuan politik lebih mendalam. Apabila pemahaman politik seseorang terlebih dahulu dikuasai, maka besar kemungkinan dapat menerapkannya, sejalan dengan aturan main yang telah disepakati bersama.

Bahwa, kesepakatan antara dua pihak yang akan bernegosiasi perlu dibangun, sembari melihat kesungguhan dan pengorbanan yang diberikan oleh rakyat banyak untuk mendukung dengan sepenuh hati mereka. Dalam konteks kepentingan rakyat inilah sebenarnya para negosiator politik bersepakat membuat komitmen untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Kedua belah pihak bersepakat mematuhinya segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan untuk memajukan rakyat dan meningkatkan kesejahteraannya. Karena mereke inilah nantinya yang akan mencadi pemimpin politik dan menjadi wakil mereka di hamper semua siatuasi politik. Itu artinya mereka tidak hanya bicara diparlemen, tetapi juga bicara kepada rakyat.

Untuk menciptakan negosiasi politik yang tepat diperlukan persiapan, karena persiapan ini merupakan kunci sukses dalam bernegosiasi. Persiapan itu antara lain ialah mengetahui sebanyak mungkin tentang lapa yang dibutuhkan rakyat. Termasuk yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa yang bernama nation state, yakni negara bangsa.

Dengan demikian partai politik yang bernegosiasi dapat dilihat oleh masyarakat politik sebagai partai politik berkarakter. Partai politik yang demikian kemungkinan besar menjadi sangat diminati dan mendapat dukungan sepenuhnya dari rakyat. Meskipun tentu saja tidak mungkin untuk menyamakan masing-masing ideology partai, yang berbeda satu dengan lainnya.

Namun pengetahuan terhadap karakteristik konstituen sangat diperlukan oleh setiap partai. Termasuk mengetahui bagaimana tingkah laku massa pendukung agar tidak menimbulkan persoalan dikemudian hari.. Dalam kaitan inilah peran negosiator politik menjadi sangat fungsional dalam menumbuhkan demokrasi. Selebihnya. Wallahu’alam

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik dan Kemasyarakatan
Bekerja Pada Pusdiklat Regional Depdagri Bukittinggi

Arah Demokrasi Harus Diubah

Sumber : Harian Kompas, Sabtu, 9 Agustus 2008 | 01:01 WIB
Jakarta, Kompas - Demokratisasi yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini harus diubah arahnya. Jika tidak, proses demokrasi yang memakan banyak biaya seperti saat ini semakin membebani rakyat.
”Kita menyaksikan betapa penyelenggaraan pilkada memakan banyak biaya. Seperti pilkada di Jawa Timur, berapa besar anggaran yang dikeluarkan oleh anggaran negara. Belum lagi dana yang disediakan oleh masyarakat dan peserta pilkada,” ujar Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali, Kamis (8/8).
Menurut dia, dana politik yang menghabiskan miliaran bahkan bisa mencapai triliunan rupiah itu akan sangat bermanfaat jika langsung dipergunakan untuk usaha yang langsung bisa memberikan kesejahteraan rakyat.
”Problem lain dari demokrasi yang sudah dijalankan adalah betapa bangsa Indonesia seperti kehilangan nilai budayanya. Seolah-olah tak ada lagi rasa saling menghormati, yang tersisa hanya mau menang sendiri,” ujarnya.
Yang lebih menyedihkan, menurut Suryadharma, hilangnya nilai ini sudah merambah di kalangan calon intelektual.
”Kalangan mahasiswa seperti tidak lagi memegang norma kesopanan, mereka memaki dan mencaci semaunya. Yang lebih buruk lagi sering kali proses demokrasi menghasilkan tindakan destruktif,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal PPP Irgan Chairul Mahfiz menilai, proses demokratisasi yang baru menekankan kelembagaan demokrasi ini memang harus disempurnakan. ”Masih banyak kelemahan, namun itu semua proses. Artinya, bangsa Indonesia, jika serius, pasti akan bisa membangun Indonesia dengan sistem demokrasi yang lebih baik,” ujarnya. (MAM)

Keseimbangan Demokrasi Harus Dijamin

Demokrasi Kita Baru Sebatas Demokrasi
Sumber : Kompas, Sabtu, 9 Agustus 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah harus mampu memerhatikan dan memberikan jaminan terhadap hak-hak warga negaranya, tidak saja terkait hak sipil dan politik, melainkan juga terkait hak-hak sosial dan ekonomi.
”Tidak cuma itu, pemerintah juga harus mampu menciptakan keseimbangan proses demokratisasi, tidak hanya terkait demokrasi dalam konteks politik, melainkan juga demokrasi secara ekonomi dan sosial,” kata Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, Jumat (8/8), saat peluncuran buku karyanya, Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah, di Bentara Budaya Jakarta.
Turut hadir dan memberikan sambutan antara lain Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
”Untuk bisa melakukan semua itu diperlukan falsafah dasar sebagai pemberi arah pembangunan. Filosofi dasar itu tidak lain adalah Pancasila dan UUD 1945. Konstitusi tidak mendasarkan dirinya sebagai liberalisme murni, yang hanya mengutamakan kebebasan dan kemerdekaan politik,” ujar Fadel.
Selain menjamin kebebasan politik dan sipil, konstitusi seharusnya juga menjamin kebebasan ekonomi dan sosial setiap warga negaranya.
”Sayangnya, sejak merdeka hingga sekarang, Indonesia dinilai masih belum menjalankan ideologi Pancasila dan UUD 1945, yang telah dibuatnya sendiri,” ujar Fadel.
Dalam sejarahnya, pemerintahan di Indonesia masih seolah berjalan dari kanan ke kiri, dari penerapan ideologi yang sangat liberal serta kapitalistik dan bahkan sempat pernah menjadi bentuk pemerintahan yang otoriter dan represif.
”Sekarang pun terkesan kuat kebijakan dan kegiatan ekonomi dan sosial yang ada cenderung berjalan secara sangat liberal,” ujar Fadel.
Padahal, liberalisme lebih menginginkan semakin dikurangi dan diperkecilnya peran negara, sementara kebebasan pasar diselenggarakan secara sebebas-bebasnya sehingga diharapkan kemudian akan terjadi semacam keseimbangan di masyarakat.
Demokrasi ”ngomong”
Dalam kesempatan yang sama, wartawan senior yang juga Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama, menyoroti keberadaan demokrasi di Indonesia, yang masih terhenti sebatas bentuk demokrasi ngomong (talking democracy), bukan demokrasi yang bekerja (working democracy).
”Kelemahan sebagian masyarakat kita masih sekadar ngomong doang dan belum melaksanakan. Jadi tidak heran demokrasi kita pun masih talking democracy dan bukan working democracy,” ujar Jakob.
Pendapat senada disampaikan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, salah seorang pembahas buku tersebut. Menurut dia, demokrasi di Indonesia akan selalu mendapatkan tantangan, terutama dari kalangan masyarakat sendiri, khususnya di tingkat bawah (akar rumput).
”Dalam kondisi seperti itu justru para pemimpin di tingkat lokal yang memiliki beban berat untuk menjawab tantangan masyarakatnya,” katanya. (DWA)

JANGAN BUNUH OBAMA!

Author : Hermawan Aksan, Publisher : Mizan Publishing
• Daftar pembunuhan dan usaha pembunuhan Presiden AS
• Sejarah kekerasan dan rasisme dalam politik AS
• Pembunuhan tokoh-tokoh politik kulit hitam: Martin Luther King, Jr. dan Malcolm X
• Ancaman terhadap tokoh-tokoh kulit hitam yang mencalonkan diri sebagai presiden
Pemilihan Presiden AS 2008 berpeluang menjadi tonggak sejarah. Itu karena kemunculan Barack Obama sebagai kandidat kuat presiden. Jika Obama—campuran kulit hitam-kulit putih—terpilih, untuk pertama kalinya Amerika Serikat memiliki presiden kulit berwarna. Terlebih, kekhawatiran akan upaya pembunuhannya telah muncul.

Namun, belum lagi dia terpilih, kekhawatiran akan upaya pembunuhannya telah muncul.

Banyak kelompok dengan terang-terangan menunjukkan permusuhannya terhadap Obama: kaum rasis kulit putih, lobi Israel, kelompok neokonservatif, dan Kristen sayap kanan. Nobelis Sastra Doris Lessing pun menyuarakan kekhawatirannya akan nyawa Obama. Pemerintah AS juga memberikan pengawalan agen khusus bagi Obama jauh lebih awal ketimbang calon-calon presiden lainnya.

Akankah kekhawatiran itu terbukti? Apa pun hasilnya, pemilihan presiden kali ini akan menjadi batu ujian bagi pluralisme dan toleransi di AS.

"Jika Obama jadi presiden, hidupnya tak akan bertahan lama."
-- Bernard Hopkins, mantan juara dunia tinju

"Jika Obama terpilih jadi presiden, mereka akan membunuhnya."
-- Doris Lessing, Nobelis Sastra 2007

Sabtu, 06 September 2008

Otoritas Politik dan Kepemimpinan

Oleh Aminuddin Siregar

Warren Bennis berpendapat bahwa pemimpin efektif dibentuk sekurang-kurangnya sebanding dengan pengalaman dan pengertian serta aplikasi dari pengalaman yang mereka miliki, termasuk keterampilan. Karena itu pemimpin harus belajar dari pengalaman dan kesalahan yang mungkin dibuatnya.
Menurut hemat kami hal-hal seperti itulah yang menjadi inti ulasan yang dikemukakan dalam buku yang sedang kita diskusikan ini. Bahwa belajar dari pengalaman berarti kita harus melihat kembali kemasa lalu, untuk tidak mengulangi kekeliruan yang telah terjadi itu di masa depan.
Dalam kaitan itulah nampaknya kita bisa memaknai pelaksanaan otonomi daerah dan penyerahan wewenang seperti yang diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan demikian kita mesti secara sadar mencari jenis pengalaman yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah sekarang ini untuk meningkatkan dan memperbesar makna kepimpinan yang kita miliki. Kemudian kita bisa menjadi pemimpin efektif yang dapat mensejahterakan masyarakat. Lalu melihat ke masa depan yang lebih baik sebagai kesempatan untuk melakukan semua hal yang perlu dilakukan untuk kepentingan semua pihak atau orang banyak.
Kepemimpinan
Dari ulasan inti persoalan yang dituangkan dalam buku yang ditulis Warren Bennis, sebagaimana dikemukakan di atas. Maka tanggapan kami terhadap seluruh isi buku ini pertama adalah sangat menakjubkan. Semakin dibaca, semakin menarik dan seakan-akan kita diajak menjelajahi dunia dihampir semua belahan bumi.
Karena bahasa yang digunakan cukup lugas, terlepas dari kemampuan penterjemahnya dan mengalihbahasakannya ke Bahasa Indonesia, yang pasti ialah buku ini enak dibaca dan perlu bagi seorang pemimpin. Sehingga dapat menambah wawasan kita terhadap persoalan kepemimpinan atau pemimpin. Selain itu kita juga bisa memperoleh wacana baru tentang pemimpin efektif yang dimaksudkan Warren Bennis. Kita juga dapat memahami jalan pikiran pengarang buku ini.
Buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin menambah wawasannya dalam bidang kepemimpinan. Sebab penulisnya tidak hanya bercerita atau mengarang belaka, tetapi juga memberi contoh-contoh dan model pemimpin efektif. Sehingga ia berhasil menghimpun sebanyak 28 tokoh pemimpin.
Sayangnya dari 28 tokoh pemimpin yang dijadikan sebagai contoh atau model pemimpin efektif menurut penelitian Warren Bennis nampak bahwa ke-28 tokoh itu memiliki kualifikasi yang mampu menciptakan berbagai perubahan melalui usaha keras mereka. Sayangnya, Bennis tidak memberi contoh konkret pemimpin Asia yang punya kualifikasi sebagaimana dimaksudkannya. Sehingga buku ini terkesan Amerika minded.
Kesimpulannya, buku ini memang layak dibaca oleh para pemimpin disemua tingkatan. Sebab pemimpin efektif itu adalah pemimpin yang dapat memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya dengan menggunakan insting baik untuk pengembangan organisasi dan kemajuan yang akan dicapainya maupun dalam mencapai tujuan organisasi itu sendiri.

PENGGABUNGAN SUARA PARTAI, PERLU ITU

Oleh Aminuddin Siregar

Indonesia, seperti halnya negara-negara yang menganut sistem multi partai, pembentukan koalisi partai, bukanlah suatu dosa politik, melainkan suatu langkah positif dan biasa terjadi dalam setiap kehidupan politik. Jadi pendeklarasian koalisi kebangsaan yang diprakarsai partai Golkar, boleh-boleh saja. Biasanya, koalisi diperlukan ketika pemerintahan menghadapi situasi gawat dan dianggap membahayakan negara. Walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk maksud mencapai tujuan lain oleh pihak yang berkoalisi.
Benar, bahwa pelaksanaan koalisi partai ini, memang tidak semudah yang dibayangkan, lantaran banyak ganjalan, rintangan dan hambatan politik termasuk hadirnya pressure dari segala arah penjuru politik. Karena itu dalam pembentukan koalisi dibutuhkan energi yang tidak sedikit. Dibutuhkan kekuatan massa pendukung yang besar, perlu komunikasi politik, sekaligus tindakan-tindakan simbolis, seperti menggalang pertemuan. Termasuk di dalamnya kekuatan electoral college, yang akan menentukan derajat pembuatan konsensus politik.
Dengan kata lain, pembentukan koalisi sangat mungkin dilakukan baik oleh partai maupun oleh kekuatan lain yang mempunyai tujuan yang sama. Termasuk untuk mengumpulkan suara partai dalam pemenangan pemilihan umum (pemilu) presiden maupun untuk maksud pembentukan kabinet atau untuk mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Pemerintahan koalisi inilah yang seringkali dibentuk atas dasar kesepakatan berbagi kekuasaan antar kekuatan politik yang ada.
Dalam kontes itu, proses berkoalisi selain melibatkan banyak pemimpin politik atau elit politik dari berbagai unsur. Juga hampir dapat dipastikan adanya keterlibatan tokoh politik yang berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Sebab mereka inilah antara lain yang dianggap mampu mendorong terjadinya proses reformasi. Biasanya mereka ini juga adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas politik yang baik, di mana pernyataan-pernyataan mereka selalu mendapat perhatian dari khalayak ramai.
Selain itu, kekuatan posisi tawar partai politik juga akan sangat mempengaruhi bagi kelangsungan koalisi partai. Karena di dalam setiap langkah politik yang dilakukan partai, hitungan politiknya mestilah jelas benar. Tidak ada satu hal pun yang tertinggal atau mungkin terlupakan, ketika tawaran politik diajukan. Soal siapa yang melakukannya memang bisa saja bukan ketua umum partai. Tetapi, lazimnya peranan ketua partai sangatlah menentukan sepak terjang dan langkah politik partai ke depan.
Persoalannya, apakah melalui koalisi partai ini calon presiden akan memperoleh suara mayoritas, sementara pemilihan langsung, kelihatannya tidak mengikat setiap anggota partai dalam menetapkan pilihannya ? Koalisi tentu saja sah-sah saja adanya, dan mungkin ada semacam keharusan bagi suatu partai politik untuk melakukannya. Sebab untuk membentuk koalisi berarti dapat mempertegas keberadaan partai baik diparlemen maupun dikursi kabinet.
Bahaya Politis
Pemilihan umum presiden secara langsung, bagaimanapun juga akan tetap menimbulkan dampak dan bahaya politis terhadap perpolitikan kita. Meskipun tidak menjadi ancaman serius bagi partai. Salah satunya mungkin akan terjadi kemerosotan loyalitas terhadap partai, lantaran kecenderungan yang terjadi adalah kuatnya faktor figur dalam menentukan pilihan. Jadi biasa saja saat ini figur yang disukai khalayak pemilih adalah figur yang bukan didukung oleh partai dalam koalisi. Sehingga agak sulit memastikan lantaran tidak adanya jaminan kuat, bahwa seorang pemilih akan sama dengan yang digariskan oleh partai.
Contoh konkret dari hal itu ialah adanya Dewan Pimpinan Daerah yang menyatakan tampil beda dalam hal memberi dukungan. Ada pula dengan kesedian memberi dukungan dengan sejumlah syarat. Tentu saja ini juga merupakan kalkulasi untung rugi politik, yang memang mesti dinyatakan secara terbuka. Itulah sebabnya mengapa negosiasi politik juga sah saja dilakukan. Begitu juga untuk mengadakan kolaborasi politik. Termasuk untuk membentuk koalisi partai.
Kalau itu tidak dilakukan, maka pertanyaannya ialah buat apa memdirikan partai politik kalau bukan untuk berbagi kekuasaan. Mustahil suatu partai politik tidak berharap adanya pembagian kekuasaan itu. Apalagi partai besar seperti partai Golkar, wajar sajalah kalau misalnya Mega-Akbar membuat suatu konsensus, agar kader-kader partai memperoleh posisi dipemerintahan, kalau ternyata lawan politik yang jadi pemenang itu sungguh-sungguh terpilih.
Itulah dunia politik, yang walau katanya penuh misteri. Hanya saja yang kita tidak suka ialah bila di dalam berbagi kekuasaan itu, ternyata yang muncul ialah hasrat berkuasa yang kemudian bertindak dan berbuat semena-mena dan tidak memperdulikan rakyat banyak ini. Bahwa kebanyakan dari kita manusia ini justru seringkali menjadi pongah sesudah diberi mandat oleh rakyatnya. Banyak kejadian lupa kacang dikulitnya, kesudahannya politik itu menjadi coreng moreng.
Tentu saja harapan kita, politisi yang dukduk diparlemen hasil pilihan kita secara langsung adalah orang-orang yang memang pantas mewakili kita. Termasuk kelayakan mereka sebagai politisi yang mempunyai orientasi memajukan rakyat. Begitu juga para politisi yang misalnya duduk di kursi-kursi kabinet. Mudah-mudahan saja adalah orang-orang profesional dan punya kompetensi bukan saja kepolitikan tetapi juga kompetensi kerakyatan.
Mereka itu juga kita harapkan adalah figur-figur yang tidak cuma memenuhi hasrat kekuasaannya tetapi adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tulus mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh rakyat Indonesia, peduli terhadap nasib bangsa, dan nestapa kemanusiaan. Sebab reformasi menyeluruh itu tidak cuma menuntut perubahan paradigma tetapi juga menuntut perubahan pola perilaku yang lebih santun, lugas, dan manusiawi.
Koalisi
Mengisi jabatan-jabatn strategis atau kursi-kursi kabinet hasil koalisi, sudah tentu akan ditempati oleh sejumlah politisi dari berbagai partai politik yang ada. Gabungan dari mereka yang berasal dari partai inilah kemudian terbentuk koalisi pemerintahan. Di mana warna pemerintahan tidak ditentukan oleh satu partai berkuasa. Tetapi ditentukan oleh banyak partai yang mempunyai tujuan sama. Kemudian dikenal dengan pemerintahan koalisi.
Sementara pemerintahan koalisi ini juga biasa saja muncul dari gabungan kekuatan sipil dan militer. Hal terakhir ini lebih menekankan pada penggabungan sejumlah orang dalam kabinet secara berimbang. Fungsi penyeimbang ini pulalah kemudian yang memberi makna pada Dwifungsi TNI. Namun sayangnya melalui Dwifungsi TNI itu pula muncul anggapan melebarnya fungsi politik militer dalam kehidupan pemerintahan dan negara. Hal ini yang seringkali dipersepsi secara tidak sama, sehingga kehadiran Dwifungsi TNI menghadirkan antipati. Sebab yang tidak disukai ialah penerapan doktrin Dwifungsi TNI, dengan mengatasnamakan korps TNI lengkap dengan segala atribut kemiliterannya.
Padahal maksud dari pada Dwifungsi TNI, (dulu Dwifungsi-ABRI) hanyalah merupakan kekuatan penyeimbang. Sehingga pemerintahan tidak didomisasi oleh orang-orang dari kalangan militer, tetapi diusahakan agar peranan masing-masing berjalan secara proporsional. Kalau kemudian ternyata diselewengkan, maka hal inilah yang perlu sama-sama kita benahi kembali. Sehingga militer tidak melibatkan institusi TNI, masuk kebidang-bidang politik lebih luas. Ini pula agaknya perlu di persepsi secara sama.
Dalam kontek koalisi parta, selain untuk memngumpulkan perolehan suara mayoritas, juga akan ada sejumlah orang dari partai yang berbeda menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Biasanya suatau partai politik yang memilih berkoalisi tidak akan menjadi opposan terhadap pemerintah, lantaran orang-orang dari partai politik yang berkoalisi juga terlibat dalam menjalankan kebijakan pemerintahan.
Baik pemerintahan koalisi, maupun partai koalisi, sama-sama merupakan hasil dari suatu penggabungan suara partai-partai yang duduk di kursi eksekutif maupun yang duduk dikursi legislatif atau diparlemen. Kekuatan ini jelas, akan memperkuat suara dalam mengambil suatu keputusan politik yang dilakukan oleh pemerintah. Penggabungan suara partai-partai ini dapat dilakukan untuk misalnya mendukung kebijakan pemerintah atau menolak suatau kebijakan yang akan dilaksankan oleh pemerintah.Bilamana kebijakan itu nyata-nyata merugikan rakyat banyak. Contoh lain misalnya menolak Rancangan Undang Undang (RUU) TNI, bila memang dipandang peranan militer memasuki wilayah-wilayah yang terlalu lebar dan meluas menjalankan fungsi sosial politiknya, adalah urusan legislatif di parlemen.
Dengan adanya koreksi semacam itulah, perlu bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang akan dimplementasikan. Termasuk meninjau ulang RUU yang diusulkan pemerintah, bila anggota Dewan tidak berkenan terhadap materi undang-undang tersebut.. dengan sejumlah orang yang akan duduk dikabinet, pemerintah mudah goyah. Koalisi partai bisa juga dilakukan dalam lembaga parlemen. Misalnya partai Golkar- PDIP bisa saja berkoalisi di lembaga perwakilan rakyat. Koalisi tiada lain ialah kombinasi dari sejumlah partai politik. Hasil dari kombinasi ini dapat menciptakan suara mayoritas. Dengan suara mayoritas jelas akan dapat memperjuangkan tujuan bersama.
Dalam konteks di atas itu, koalisi partai ini juga dimungkinkan dan bisa saja terjadi. Hanya saja bentuknya barangkali akan sangat berbeda. Kalau koalisi partai dimaksudkan untuk menggabungkan suara partai itu artinya anggota parlemen yang membentuk koalisi dapat mendukung kebijakan pemerintah. Termasuk untuk membela pemerintah bila kepentingan negara berada dalam situasi bahaya. Sehingga pemerintahan menjadi kuat karena mendapat legitimasi dari mayoritas legislatif di parlemen. Begitu kira-kira.

Penulis Bekerja Pada Pusdiklat Regional Bukittinggi

Senin, 25 Agustus 2008

Manuver Politik Menjelang Pilpres

Oleh Aminuddin Siregar

Manuver politik menjelang pemilihan presiden 2009 mendatang ini, diperkirakan akan terjadi, walau dalam bentuk yang samar. Sebab maneuver politik merupakan salah satu kepiawaian para politisi sejak ribuan tahun lalu. Lompatan-lomptan politik yang tangkas dan sangat cekatan dimungkinkan terjadi. Tidak saja lantaran jumlah partai politik (parpol) yang dianggap oleh masyarakat terlalu banyak, tetapi juga karena maneuver politik adalah bagian dari seni bermain di atas panggung politik.

Kalau itu terjadi, bukanlah suatu keanehan dalam politik, melainkan merupakan tindakan yang memungkinkan bangkitnya kesadaran politik rakyat dan tumbhunya pengaruh luar biasa. Namun seringkali maneuver bukan untuk dicintai banyak orang, melainkan sekedar pencarian popularitas. Dalam politik itu sah adanya dan dianggap sangat realistik dalam upaya memangkan pertarungan sekaligus mewujudkan cita-cita menduduki kursi RI-1, banyak orang mengidamkannya.

Langkah menuju kursi kepresidenan itulah memang cukup berliku, seperti misalnya yang dialami oleh tokoh muda Amerika Serikat, Barack Obama, melangkah ke Gedung Putih. Banyak kelokan dan tikungan tajam, melintasi banyak duri, melewati tepi jurang, bahkan jalan setapak yang harus dilalui, dan sejumlah halang-rintang, berat-ringan lainnya. Saat seperti ini perlu pemikiran dan ketulusan niat untuk mensejahterakan masyarakat secara bersama.

Dalam kondisi dan situasi seperti itu, wajar saja kalau para politisi bertindak tangkas, termasuk untuk mendekatkan diri kepada rakyat. Maka siapa kandidat yang dirasakan oleh rakyat, paling dekat dengan mereka, kemungkinan besar kandidat atau calon itulah yang menjadi piliha mereka. Begitu juga nantinya para calon legislative baik pusat maupun daerah yang langsung dipilih oleh rakyat.

Bagaimana dengan tim sukses capres dan cawapres ? Juga akan mengalami kesibukan luar biasa. Mereka juga akan punya kesempatan melakukan manuver politik. Termasuk melakukan pendekatan-pendekatan politik satu sama lain. Ada yang menyebutnya reuni, ada yang bilang silaturrahmi, ada yang mengatakan persambungan kulturar, ikatan sosial dan emosional dan seterusnya, menggalang kekuatan.

Kegiatan semacam itu bisa dilakukan, tidak saja untuk menarik simpati para pemilih, tetapi juga menciptakan suasana akrab dan meninggalkan kesan moralitas yang tinggi. Santun dan lugas penuh tanggung jawab, disiplin dan semua yang bisa membuat hati seluruh rakyat sedikit terhindar dari rasa runyam.

Selain itu gunanya ialah menciptakan suara mayoritas, sembari menyampaikan anjuran dengan sejujur-jujurnya, agar rakyat memilih dengan tepat pada saat yang tepat. Bahwa langkah politik yang dilakukan adalah semata-mata untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia. Maka tekad semacam itu patut kita pandang baik dan positif.

Tetapi ketika manuver itu dilakukan melampaui lomptan-lompatan politik yang memperlihatkan hasrat berkuasa. Sudah pasti akan muncul anggapan dan penilaian kurang baik oleh orang banyak ini. lompatan politik itu tentu akan sia-sia belaka. Komunitas pemilih sekarang ini sudah sangat peka mendengarkan apa pun saja yang menjadi ucapan para politisi. Sehingga mereka dapat menangkap pesan sekecil apapun yang disampaikan.

Pesan-pesan itu, lalu disimak secara cermat, lantaran warga masyarakat dan pemilih tidak mau mengalami kekeliruan dalam memilih calon yang memberi janji-janji belaka. Termasuk yang muluk-muluk, pasti tidak akan diterima oleh pemilih.

Itu sebabnya, kembali yang perlu mendapat perhatian para calon presiden dan calon wakil presiden ialah, tidak sekedar melaukan maneuver, tetapi memperlihatkan langkah jitu yang bisa mengubah image masyarakat terhadap citra masing-masing pasangan calon. Lebih-lebih menjelang pilpres yang tidak lama lagi akan digelar, dan helat politik terbesar ini akan menjadi pesta yang meriah, aman dan damai.

Pandangan masyarakat terhadap citra tiap capres/cawapres jauh sebelum pemilihan presiden saat ini sudah cukup baik dan positif. Namun di dalam kenyataannya justru sang capres/cawapres itu sendirilah yang seringkali memberi gambaran tentang sepak terjang dan citra yang tidak memandang persoalan rakyat sebagai bagian dari masalah politik itu sendiri. Ini jelas akan mengurangi nilai para calon baik sebagai pemimpin maupun politisi.

Sebab, kepemimpinan para calon itu tidak cuma ditetnukan dalam kerangka politik semata. Tetapi sejauh mana para calon itu bisa diterima semua pihak, semua kelompok, semua kalangan, semua unsur dan semua komponen bangsa, seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tentu saja yang paling diharapkan seluruh rakyat ialah pertarungan yang kompetitif, jujur dan adil, sehat dalam segala aspek. Tidak ada kecurangan apalagi praktek politik uang, dan tindakan-tindakan manipulatif lainnya.

*Penulis Staf Pengajar Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi

Sabtu, 09 Agustus 2008

Muslims rally in Indonesia at US call for release of activists


Photo: AFP
Click to enlarge

JAKARTA (AFP) - A hardline Muslim group staged a rally outside the US embassy in Jakarta on Saturday to protest over a call by Washington for the release of two Papuan activists.
Some 100 members of Hizbut Tahrir massed outside the embassy with banners reading: "We are against US intervention in Papua."
The demonstration came after some 40 members of the US Congress sent a letter to Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono urging an "immediate and unconditional" release of the activists on human rights grounds.
Philep Karma and Yusac Pakage were sentenced to 15 and 10 years respectively in 2005 after a court found them guilty of treason after they raised an outlawed separatist flag.
"The US Congress letter is obvious evidence that the US have given their support to Papua separatist group who want to be independent from Indonesia," Ismail Yusanto, spokesman for Hizbut Tahrir Indonesia said in a press release.
The group also urged Yudhoyono to reject US intervention and to stick to the government's stance of eradicating separatist movements in the country.
Indonesia took control of Papua, a former Dutch colony on the western half of New Guinea island, in 1969 after a vote among a select group of Papuans widely seen as a sham.
Papuans have long accused Indonesia's military of violating human rights in the province and complain that the bulk of earnings from its rich natural resources flow to Jakarta.

Kamis, 07 Agustus 2008

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS

Oleh Aminuddin Siregar

Agribisnis nampaknya tidak cuma sekedar isapan jempol, apabila ditemukan modus baru pengembangan agribisnis ini, dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Akan tetapi problem yang seringkali muncul kepermukaan, justru bukan masalah pengembangan, melainkan seberapa efektif manajemen agribisnis ini telah dilakukan. Sehingga persoalan yang menyangkut daya dukung ekonomi daerah yang berbasis kerakyatan menjadi prioritas..

Itu sebabnya, mengapa perlu dicari modus baru pengembangan agribisnis ini. Di mana agribisnis benar-benar dapat menjadi satu kekuatan bagi daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengurus rumah tangganya sendiri. Barulah kemudian makna otonomi daerah, yang berbasis kerakyatan dapat digiring ke arah terciptanya demokratisasi ekonomi. Meskipun demokrasi dianggap tidak selalu bisa memberantas kemiskinan.

Pusat krisis yang dibentuk pemerintah tempo hari itu, nampaknya bertujuan untuk membantu dan mendukung pelaku bisnis dan perdagangan dalam meningkatkan usaha mereka. Bukan saja di tingkat nasional dan regional melainkan juga pada tingkat global. Sebab menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan, yang ketika itu dijabat oleh Rini MS. Soewandi, usaha pengembangan itu difokuskan pada tiga bidang industri, yakni industri tekstil, produk tekstil, dan industri alas kaki, serta industri elektronik.

Dengan dibentuknya pusat krisis industri dan perdagangan ini, diharapkan dapat menyerap tenaga kerja. Sekurangnya dapat mengurangi angka pengangguran yang cenderung meningkat dari hari-kehari. Harapan ini tidak saja untuk memperkuat kembali perekonomian regional tetapi juga dapat mendongkrak laju perekonomian daerah secara lokal, dengan berbasiskan ekonomi kerakyatan.
Sejalan dengan itu Manajemen Pengembangan Agribisnis Berwawasan Lingkungan sangat diperlukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Sebab pengembangan agribisnis juga akan dapat dijadikan sebagai kekuatan daya saing disektor perdagangan. Untuk mewujudkan hal Ini, tentu saja diperlukan kesepakatan bersama, konsensus, dan terlebih lagi sangat diperlukan ialah komitmen terhadap pengembangan agribisnis sebagaimana diharapkan.

Persoalannya, apakah pencarian modus baru pengembangan agribisnis ini bisa disepakati, apabila penegakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan benar justru dianggap sebagai hambatan? Padahal semua warga masyarakat mesti mengetahui apa yang menjadi kebijakan pemerintah dan secara transparan aspirasi mereka yang disuarakan oleh wakil mereka sepenuhnya didasarkan pada kesesuaian dengan kebutuhan mereka.

Penulis Staf Pengajar pada Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi. Penggagas Forum Diskusi Komunitas Klub Haus Buku

Senin, 04 Agustus 2008

Menyambut Kenduri Demokrasi 2009

Oleh Aminuddin Siregar

Kini demokrasi diyakini sebagai cara terbaik dalam melakukan berbagai persambungan sosial-politik. Baik dalam konteks persambungan pemerintah dengan masyarakat, maupun dalam konteks Negara-bangsa. Persmbungan-persambungan kultural, politik, dan persambungan-persambungan sosial kemasyarakatan lainnya.

Silaturrahmi politik, suka tidak suka, mau tidak mau dilihat sebagai kegiatan dari bentuk kepentingan semata dari apa yang menjadi hasil dari sebuah pesta demokrasi. Ketika pemerintah mulai mempertaruhkan segala potensinya untuk membangun kesejahteraan rakyat. Partai politik muncul berduyun-duyun.

Kenduri demokrasi 2009, memang harus disambut semeriah mungkin bukan saja karena pesta seperti itu harus terjadi, melainkan karena kenduri itu merupakan momentum mengatur kembali bagaimana strategi mengurus rakyat yang baik dan benar Termasuk mengatur kembali fungsi-fungsi pemerintahan mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Dalam kaitan ini mesti muncul kepedulian terhadap nasib rakyat, yang pasti membutuhkan komitmen dan integritas. Bukan saja oleh pemerintah melainkan juga oleh institusi politik yang ada.

Keduri demokrasi selalu mendapat perhatian banyak orang. Tidak saja oleh kalangan politisi, birokrasi, kaum profesional, tokoh masyarakat dan organisasi politik, serta kelompok kepentingan lainnya. Tetapi juga oleh hampir seluruh lapisan masyarakat politik. Perhatian itu wajar, terutama menjelang kenduri demokrasi yang tinggal beberapa bulan lagi.

Karena itu, harus berani jujur untuk menyelamatkan kenduri demokrasi terhadap munculnya distorsi terhadap jalannya proses politik. Terutama yang menyangkut pengadaan dan pendistribusian kelengkapan kenduri. Khususnya menyangkut proses penghitungan kertas suara. Itu sebabnya, kenduri demokrasi ini dilihat sebagai momen penting membangun kembali semua elemen masyarakat politik untuk berani jujur dan peduli terhadap sesama komunitas politik meski beda satu sama lain.

Penulis Staf Pengajar Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi. Penggagas forum diskusi Komunitas Klub Haus Buku.

Million-selling opening for vampire series finale

Monday August 4, 9:12 PM
Harry Potter is still king, but the final book of Stephenie Meyer's "Twilight" series did manage a million-selling debut.

"Breaking Dawn," the fourth of Meyer's sensational teen vampire series, sold 1.3 million copies in the first 24 hours after its midnight, Aug. 2 release. Publisher Little, Brown Books for Young Readers announced Monday that it has gone back for 500,000 more copies, making the total print run 3.7 million.

The numbers for "Breaking Dawn" are comparable to the openings of a pair of famous memoirs: former President Clinton's "My Life" and Sen. Hillary Rodham Clinton's "Living History." But they don't approach the unveiling of "Harry Potter and the Deathly Hallows." The seventh and final volume of J.K. Rowling's fantasy series sold 8.3 million copies in its first 24 hours in the United States alone.

Sumber : Yahoo!Asia News

Rabu, 02 Juli 2008

POLITIK, DEMOKRASI DAN INSPIRASI AGAMA


Oleh Aminuddin Siregar (Staf Pengajar Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi)

Martin luther, adalah tokoh reformis dan pembaharuan di zamannya, sekaligus pembangkang dan pemberontak. Terutama terhadap Gereja Katolik Jerman. Salah satu bukti penolakannya terhadap kekuasaan gereja, adalah ketika Luther memimpin reformasi Protestan di Jerman. Pada abad ke-16 yang lampau. Gerakan reformasi itu sendiri amat berpengaruh terhadap kehidupan para warga, hingga membuahkan kebebasan nyata dan konkrit, khususnya bagi setiap orang untuk mengikuti keyakinannya.
Di kemudian hari, reformasi dan pembaharuan yang dirintis Luther, oleh pengikutnya diformulasikan ke dalam bentuk yang lebih luas ke berbagai segmen terutama politik. Bahwa pembaharuan itu telah memegang peranan penting bagi perkembangan pemikiran selanjutnya. Baik dalam bidang politik dan masyarakat maupun dalam bidang kenegaraan dan kebangsaan. Dimana orang mulai menyadari pentingnya ikatan yang melambangkan identitas mereka.
Meskipun Luther, adalah seorang pembangkang sekaligus pemberontak, yang dicampakkan dan dituduh “murtad”, namun pemikiran-pemikirannya yang reformis telah tersebar luas dan menjadi acuan bagi kelanjutan reformasi dan pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan. Beliau sendiri, walau mesti hengkang, tidak pernah menghimbau apalagi menganjurkan pemikiran sekuler. Hal inilah barangkali yang memberi andil besar bagi gerakan reformasi yang dipimpinnya dan membangkitkan kesadaran nasionalisme kebangsaan warga masyarakat.
Tentu saja disini tidak dimaksudkan untuk melihat Indonesia dari masa lampau Jerman. Namun satu hal yang mungkin bisa ditangkap adalah bahwa inspirasi agama bukanlah perlawanan bagi politik dan negara. Sebab dengan kebebasan bagi setiap orang mengikuti keyakinannya menurut kepercayaan yang dianut setiap individu manusia, maka demokrasi nampak lebih konkrit. Sehingga, sangat dimungkinkan bahwa inspirasi agama dapat dijadikan landasan bagi tumbuhnya demokrasi yang dapat memperkaya khasanah aspirasi politik yang sehat.
Persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tidak saja amat ruwet dan rumit, tetapi juga sangat krusial. Kalau kita mengacu pada demokrasi , maka tuntutan Aceh untuk menjalankan syari’at Islam di tanah rencong itu, barangkali wajar saja. Namun apakah demokrasi yang baru saja kita rasakan nyata sekarang ini tidak bisa dikompromikan lewat dialog kemanusiaan. Apabila inspirasi agama yang mengilhami referndum Aceh misalnya.
Sebab menurut hemat kita, inspirasi agama bukanlah perlawanan bagi politik maupun negara. Bila misalnya referendum direalisasikan tidaklah hanya cukup dengan otonomi khusus. Bahwa keistimewaan Aceh dengan otonomi seluas-luasnya adalah dengan kekhususan menjalankan syari’at Islam di tanah rencong itu tanpa memisahkan diri dari keutuhan wilayah kesatuan Republik Indonesia.
REFORMASI SEBAGAI GERAKAN
Reformasi sebagai gerakan yang bertujuan menciptakan pembaharuan, mungkin termasuk penyegaran kehidupan bernegara, amat diperlukan. Terutama untuk membangun kembali kehidupan politik yang lebih sehat, lebih transparan, demokratis dan lebih kondusif, membangun masyarakat yang lebih terbuka, membangun perilaku politik yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Membangun budaya politik baru, menciptakan masyarakat madani, masyarakat sipil dan seterusnya. Tidak lagi main kemplang dan main gebuk.
Seperti kita ketahui, bahwabuah dari gerakan reformasi yang digalang dan dilancarkan mahasiswa beserta komponen generasi baru lainnyayang bergabung telah membuahkan lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 11 Mei 1998 dari singgasana kepresidenan. Lalu kita menyaksikan kehidupan demokrasi yang begitu dinamis semenjak pemilu 7 Juli 1999 sehingga sidang umum MPR dan terpilihnya Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur itu, tekanan publik justru terus berlangsung bahkan telah berbaur dengan teror massa yang cukup mencekam. Barulah setelah Megawati Soekarno Putri terpilih sebagai wakil presiden mendampingi Gus Dur, suasana sedikit mereda.
Tetapi di awal-awal presiden Gus Dur memainkan perannya sebagai orang nomor satu, juga tidak lepas dari tantangan dan ujian berat. Mulai dari persoalan komposisi kabinet yang diragukan, desakan agar Gus Dur segera menyelesaikan kasus Aceh hingga persoalan pembubaran dua departemen yang dinilai sangat tergesa-gesa dan termasuk ancaman disintegrasi nasional.
Tuntutan daru berbagai daerah selain Aceh juga muncul dari Irian Jaya, untuk Papua merdeka, Kalimantan Timur dan Sulawesi yang kecewa jagonya dengan terpaksa dan dengan kerelaan yang harus diikhlaskan mengundurkan diri dari pencalonan presiden, sesudah pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh Majelis dan munculnya Gus Dur sebagai calon yang dijagokan dan ternyata terpilih menjadi presiden keempat RI.
Kini peta politik jelas berubah. Namun di tengah pembaharuan yang disertai dengan pendemokrasian di semua bidang kehidupan, ternyata tidak hanya cukup sampai disitu, hingga hari-hari ini kita masih tetap dihadapkan pada teka-teki. Apakah semua soal yang menghimpit dan ruet itu dapat diselesaikan segera ? Agaknya, menyelesaikan semua soal itu perlu waktu dan penyesuaian yang responsif. Namun tidak tertutup kemungkinan mengawalinya dengan dialog bersama semua unsur. Baik dari tokoh masyarakat, alim ulama, pemuka adat, mahasiswa dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, untuk menyelamatkan integritas nasional.
OPOSISI
Selama masa pemerintahan Orbe Baru, praktis kita tidak mengenal oposisi, sedikit kita terpeleset ngomong, tergelinvir bicara, berujar miring atau bergaya satiris tulisan kita, dicap berbahaya dan dianggap sebagai ancaman tehadap stabilitas nasional. Dianggap mengganggu kelancaran pembangunan. Bahkan dianggap berhaluan kiri bila tidak dituduh dan dicap sebagai yang merongrong kewibawaan pemerintahan. Dan karena itu orang takut bicara dan tidak ada tempat bagi oposisi.
Muchtar Lubis, (alm) tokoh budayawan terkemuka, di tahun 80-an pernah menyatakan bahwa dirinya adalah oposan tulen. Tapi apa yang dialami justru banyak menghadapi kesulitan daripada kemudahan. Begitu juga di masa pemerintah Orde Lama sebelumnya di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, yang didapat justru pembredelan surat kabar “Indonesia Raya “ Muchtar Lubis (alm). Karena dianggap telah keluar dari kewajaran yang walaupun maksud sebenarnya untuk meluruskan. Kini mahasiswa siap jadi oposan untuk mengoreksi pemerintahan Gus Dur.
Dari berbagai peristiwa dan kejadian yang terjadi dalam dua pemerintahan terdahulu, yakni Orde Lama dan Orde Baru, pembungkaman dan pengebirian seringkali terjadi, pencabutan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) merupakan hal yang paling sering dialami oleh penerbit surat kabar maupun majalah. Pencabutan SIUPP ini, barabgkali banyak terjadi selama Orde Baru. Dalam pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Presiden Habibie dengan kabinet reformasi pembangunan yang berumur 517 hari itulah kebebasan pers baru mendapat tempat seluas-luasnya, yang oleh Menteri Penerangan Yusuf Yosfiah ketika itu, mereformasi kebebasan menjadi kemerdekaan pers.
Inspirasi agama, juga sering kali menghadapi problema yang dahsyat. Begitu ditakutkan, sehingga tidak jarang kalangan umat Islam praktis tidak dapat memainkan peran politiknya karena idiom radikalisme, ekstir Islam dan seterusnya yang bersifat meminggirkan, kalangan Islam acap kali dikemplang dan digebuk sedemikian rupa. Barulah sejak reformasi, demokrasi dan kebebasan tumbuh lebih konkrit.
Dengan demokrasi dan kebebasan yang begitu terbuka pula, ternyata beberapa daerah merasa punya kesempatan untuk mengemukakan aspirasinya kepada pemerintahan pusat, agar daerah lebih diperhatikan dan diberi keleluasaan. Alhasil gejala itu, menunjukkan ketidakpuasan yang selama ini terjadi, telah mengancam nasionalisme yang melambangkan identitas bersama, dan dianggap sebagai hal yang usang dan tidak dapat terus menerus dipertahankan. Oleh karena itu, beberapa daerah yang sumber daya alamnya melimpah kepingin supaya otonomi seluas-luasnya segera dilaksanakan.
Tentu saja Presiden Gus Dur sendiri setuju-setuju saja, dengan misalnya referendum di Aceh, begitu juga dengan ketua MPR Amien Rais, cuma memerlukan langkah-langkah yang cermat, tahapan-tahapan yang disusun secara rapi, dikemas sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan otonomi seluas-luasnya menguntungkan semua pihak. Andaikata Presiden Gus Dur menyatakan tidak setuju dengan referendum. Maka orang akan meragukannya sebagai demokrat tulen, yang mendeklarasikan forum demokrasi jauh sebelum beliau jadi presiden.

Buldoser bunuh 4 warga Israel


Diperbaharui pada: 02 Juli, 2008 - Published 10:16 GMT
Jerusalem
Seorang polisi menembak mati supir buldoser dari jarak dekat
Seorang warga Palestina menabrakkan buldoser ke arah sebuah bis serta beberapa mobil di Jerusalem dan menewaskan 4 orang.

Polisi Israel mengatakan belasan lain terluka dan 7 diantaranya menderita luka serius dalam insiden di Jalan Jaffa, di pusat kota Jerusalem.

Wartawan BBC, Tim Franks, yang menyaksikan insiden itu mengatakan seorang aparat keamanan menembak mati supir buldoser tersebut.

Kepanikan melanda di sekitar tempat peristiwa dan ratusan orang berlarian menjauh.

"Kami menegaskan bahwa ini merupakan insiden teroris," kata jurubicara Kepolisian Israel, Micky Rosenfeld.

"Pasukan patroli khusus tiba di tempat kejadian. Salah satu sepeda motor kami mendekati buldoser itu, menembak dan menewaskannya," tambahnya.

Sementara itu seorang jurubicara Gerakan Palestina Hamas mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa mereka tidak berada di belakang insiden itu.

Serangan warga Palestina ke Jerusalem relatif jarang terjadi. Bulan Maret lalu seorang pria bersenjata Palestina menewaskan 8 orang di sebuah seminari.

Satu-satunya cara untuk menghentikan dia adalah dengan menembakkan peluru ke kepalanya

Saksi mata Tembakan jarak dekat

Buldoser itu melaju mengarah ke sebuah pasar dan menabrak sebuah bis serta beberapa mobil.

Pada satu saat terlihat sekitar 2 atau 3 pria masuk ke tempat kemudi buldoser dan buldoser itu sempat terguncang hebat, namun tidak berhenti.

Seorang saksi mata mengatakan kepada BBC dia melihat buldoser itu menabraki mobil dan bis. "Dia ingin membunuh sebanyak mungkin orang," kata saksi mata itu," tuturnya.

Saksi mata lain mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa dia melihat seorang pria yang tidak mengenakan seragam naik ke buldoser dan menembak supirnya.

"Satu-satunya cara untuk menghentikan dia adalah dengan menembakkan peluru ke kepalanya," kata saksi mata itu.

Harian Israel, Haaretz, mengatakan supir buldoser itu mempunya kartu pengenal Israel dan memiliki beberapa catatan kriminal.

Jumat, 20 Juni 2008

KOMPROMI = NEGOSIASI


Oleh Aminuddin Siregar
http://klubhausbuku.WordPress.com
Dalam bahasa manajemen, negosiasi itu dianggap sebagai formula bisnis yang bisa mempertautkan dua pihak yang mempunyai kepentingan sama. Negosiasi inilah kemudian yang disebut sebagai proses perundingan dan saling mengurangi tuntutan terhadap masing-masing pihak. Kemudian dapat mencapai suatu kesepakan, konsensus, dan keputusan-keputusan penting secara bersama.
Prinsip dari perundingan yang disebut negosiasi itu, biasanya saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Ia bukanlah pertarungan, yang saling mengalahkan dan mematikan, melainkan jalan penyelesaian yang saling mendukung satu dengan lainnya. Sehingga secara konkret tidak ada yang dirugikan, artinya perundingan itu berlangsung kondusif, lantaran saling menjaga integritas dan menggunakan pikiran yang jernih.
Meski begitu, ia tidaklah dikatakan kolusi, tetapi lebih pas dikatakan tawar-menawar, saling memberi dan menerima. Tentu saja negosiasi dilakukan dengan perhitungan cermat terhadap kemungkinan adanya resiko-resiko yang diakibtkannya. Namun, sedapat mungkin resiko itu mesti diminimalisir. Kalaupun membawa dampak, sepanjang tidak dalam arti merugikan, maka hal itu dapat ditolerir. Itu sebabnya mengapa dalam negosiasi ada tolerasni terhadap ambiguitas.
Dengan demikian, negosiasi dapat dikatakan, bukan saja sebagai formula tetapi juga sebagai alat yang digunakan dalam organisasi bisnis. Biasanya negosiasi dilakukan, oleh persaingan sehat. Ketika organisasi bisnis itu menghadapi jalan buntu dan sulit menembus, tujuan yang hendak dicapai. Misalnya saja, mengusahakan bahan baku, atau mendayagunakan kekuatan yang agak sukar dijangkau. Maka negosiasi dianggap relevan sebagai jalan damai menuju kesepakatan bersama. Hal itu legal saja, dan lumrah adanya.
Agaknya dalam dunia poltik, strategi negosiasi itu mungkin saja dilakukan.Walau barangkali tidak nampak secara nyata. Tetapi, dapat dirasakan kemunculannya dalam situasi politik tertentu. Barangkali pula bisa dicontohkan bahwa terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden ke-4 RI, merupakan hasil negosiasi politik. Melihat fenomena perpolitikan kita, negosiasi dapat dikatakan sama dengan kompromi. Dalam konteks kepolitikan, formula itu bisa saja terjadi.
Sebab dalam politik itu segalanya bisa menjadi mungkin, termasuk kemungkinan kompromi. Jadi tidak perlu heran, kalau misalnya, sekarang-sekarang ini, orang sudah mulai memperbincangkan soal wakil presidan bila Gus Dur mesti mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir hingga 2004 nanti. Bila dilihat dari tekanan politik yang sedemikian berat.
Atau boleh jadi Gus Dur dipaksa mundur oleh kekuatan politik tertentu. Apakah itu kekuatan politik massa publik atau bukan, kekuatan koalisi permanen atau tidak. Boleh jadi pula oleh lahirnya memorandum II. Bahkan bisa saja melalui Sidang Istimewa MPR, yang berujung pada pemilihan umum. Nampaknya, kedudukan presiden Gus Dur, kini sedang diguncang, bila tidak dikatakan terncam.
Lalu, mengapa kompromi politik tidak digunakan dalam dunia politik sebagai jalan penyelesaian konflik nasional yang kini tengah terjadi antara parlemen dengan pemerintah ? Bahwa kompromi politik itu dilakukan dengan prinsp-prinsip saling menghormati dan saling menghargai. Agaknya, bisa saja dilakukan, yang walau bagaimanapun juga, konflik nasional mesti segera diakhiri.
Dorongan Kultural
Melihat fenomena kehidupan politik kita, hingga hari kemaren-kemaren ini, hendaklah dikatakan bahwa kompromi politik merupakan dorongan kultural. Sebab, tentu saja kita semua tidak menghendaki kemungkinan terjadinya hal terburuk bagi bangsa ini. Karena itu, kompromi politik wajar saja dilakukan. Bukan saja oleh para aktor politik, melainkan juga oleh elit yang selama ini kurang harmonis.Begitu juga, kompromi ditingkat lokal untuk saling mengurangi tuntutan atas kejadian yang dialami beberapa daerah.
Sebenarnya, jika hal ini dilihat sebagai dorongan kultural, maka kompromi bisa dijadikan semacam jembatan untuk menghidari ironi politik yang tidak mendidik. Dan demi menghindari kerusuhan yang meluas, termasuk untuk mengantisipasi terulangnya pertarungan elit yang ujungnya mengakibatkan preseden buruk bagi generasi mendatang.
Rasanya, kompromi itu adalah jalan yang mesti ditempuh menuju kesepakatan damai dan mengakhiri sikap berseberangan yang lebar. Ini perlu kembali diingat, karena ia akan menjadi catatan sejarah perpolitikan kita. Kalau kompromi itu dilakukan dengan benar, maka akan kita temukan sejarah perpolitikan yang memiliki urgensi historis, kini dan di masa depan. Sebaliknya, bila kompromi berlangsung dengan cuek-cuek saja, nilai historisnya juga akan dicuekin..
Memang ada benarnya bahwa, kalau Gus Dur melepas jabatannya ditengah jalan, maka secara konstitusional Ibu Megawati Soekarnoputri akan jadi presiden. Namun lantaran politik itu selalu tidak dapat diduga dan kalau kemudian, ternyata apa yang ramai dibicarakan sekarang sebagai kandidat wakil presiden mendampingi Ibu Megawati Soekarnoputri, --bila nantinya Ibu Mega sungguh-sungguh jadi presiden-- bisa saja bukan orang yang disebut-sebut itu, yang muncul sebagai wakil presiden.
Bahkan bisa saja muncul kemungkinan terburuk, bahwa Ibu Mega sendiri pun tidak memperoleh apa-apa. Apalagi sekarang-sekarang ini, sebagaian orang berpendapat bahwa Ibu Mega dianggap tidak bisa pimpin negara. Pendapat itu telah beredar luas. Meskipun tentu saja Ibu Megara tidak akan terpengaruh dengan segala macam estimasi, prediksi dan ramalan yang dibuat secara terbuka itu.
Jalan Tengah
Jadi, sudah saatnya memang, untuk membuka jalan baru melalui dialog menuju kesepakatan dan konsensus yang bisa diterima semua pihak dan kalangan. Kemudian dapat dimunculkan suatu formula baru bagi kehidupan politik itu sendiri. Atau suatu keharmonisan, termasuk kedamaian, dan mungkin juga keteraturan poltik. Kalaulah hal-hal demikian itu dapat dihadirkan dipentas perpolitikan kita. Maka besar kemungkinan dapat mengantisipasi ancaman munculnya hal terburuk, yang merugikan semua pihak.
Sayangnya, politik itu cenderung tidak memihak pada kebenaran, tatpi acapkali, justru memihak pada kekuasaan. Sehingga, agak sulit untuk dikatakan, bahwa kompromi politik itu berlangsung fair,jujur, santun dan lugas. Apalagi bila kompromi itu tidak dilahat sebagai dorongan kultural yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dan nilai-nilai kemanusiaan, yang sebenarnya mesti dijunjung tinggi.
Bahkan lebih celaka lagi, bila kompromi politik itu tidak disikapi sebagai jalan tengah yang dapat menyelesaikan perseteruan atau perbedaan pandangan politik. Bila demikian halnya, maka akibat yang ditimbulkannya, anatara lain ialah, sulitnya melakukan persambungan poltik dan mahalnya harga dari sebuah keberlangsungan saling berinteraksi.
Tentu saja pendapat ini bukalah pendapat seorang pakar, meliankan dilahat dari kaca mata awam, orang biasa, dan yang tidak punya akses untuk menjangkau kepentingan politik apapun. Ini hanya sekadar urun rembug, siapa tahu, justru ini dianggap sebagai inteligensia praktis, yang mungkin saja berguna dalam pencarian makna kompromi politik itu sendiri.
Sehingga, kita tetap bisa berharap agar situsi dan tekanan politik seperti hari-hari belakangan ini segera berakhir. Kompromi politik itu sendiri berjalan sebagaimana mestinya. Tidak saja untuk memberi salam kepada Gus Dur, tetapi adanya titik-titik temu yang menggembirakan semua pihak. Baik mereka yang berseberangan, beda pandangan maupun bagi siapa saja, yang ingin dan menghendaki stabilitas politik, keteraturan poltik, keharmonisan yang kondusif, serta kedamaian yang membawa bangsa ini lebih maju lagi dalam berbagai bidang kehidupan. Bukan saja dalam bidang politik tetapi juga dalam bidang sosial kemasyarakatan. Sehingga masyarakat mampu secara kreatif dan lebih cerdas menyerap perkembangan kultural yang tengah terjadi. Itu saja.

Penulis adalah Staf Pengajar Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi

Seruan Pengusaha Dunia Soal Emisi

Diperbaharui pada: 20 Juni, 2008 - Published 10:33 GMT
Email kepada teman Versi cetak

Para pemimpin bisnis dunia mendesak kelompok negara industri maju G-8 agar menjadi pelopor isu pemanasan global dengan menetapkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membentuk pasar karbon.
Mereka menyatakan emisi seyogyanya dipangkas sebesar setengah paling lambat tahun 2050, dan teknologi bersih digalakkan untuk mencapai target tersebut.
Para pemimpin bisnis menentang target wajib yang diperjuangkan para aktivis lingkungan dan bersikukuh bahwa semua perekonomian besar, termasuk Cina dan India, disertakan dalam kesepakatan baru.
Rekomendasi tersebut diusulkan oleh 99 perusahaan besar dunia. Mereka termasuk maskapai penerbangan Inggris British Airways, raksasa energi EDF, bank Jerman Deutsche Bank dan raksasa perminyakan Shell.
Rekomendasi mereka diserahkan kepada Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda, yang akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak G-8 di Hokkaido bulan depan.

Rabu, 14 Mei 2008

Bertumpu pada "People Cybernomic"

Bertumpu pada "People Cybernomics"

Judul : Mengutamakan Rakyat
Penulis: Wawancara Mayor Jenderal TNI Saurip Kadi oleh Liem Siok Lan
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tahun: 2008
Tebal : 371 halaman


Indonesia sedang terpuruk, bahkan lebih dari itu karena karut marut persoalan sudah berakar di segala bidang. Namun anehnya, para elite politik yang berkuasa masih tetap saja tidak peduli, dan tak memiliki visi. Ibarat penyakit, bangsa Indonesia sekarang dalam kondisi "sakit parah dan kritis" sehingga bila tanpa "operasi besar" sang pasien sulit memiliki masa depan.
Virus utama yang mengendap, yang menjadi penyebab pengeroposan negeri ini adalah elite politik yang malas, korup, tidak efisien, tidak peduli sesama bangsanya, rakus, goblok, dan berobsesi dengan pangkat dan kedudukan, duit, dan gengsi. Dan, yang paling mendasar dari persoalan bangsa ini adalah sistem kenegaraan yang tidak rasional, hubungan antarkelembagaan tidak harmonis, termasuk konsep sistem kepartaian, pemilu, dan otonomi daerah yang inkonsistensi, yang membuat keadaan semakin semrawut.
Hal inilah antara lain yang dipaparkan dalam buku "Mengutamakan Rakyat," yang berisi pemikiran/kajian Mayor Jenderal TNI Saurip Kadi (SK) yang dituangkan dalam bentuk tanya-jawab oleh Liem Siok Lan (LSL, sebagai pewawancara).
Buku ini semakin menarik karena ada "diskusi" di dalamnya, dilengkapi komentar-komentar para tokoh, pengamat politik dan ekonomi yang tersohor, seperti Ben Anderson, Profesor Emeritus Government Studies, dari Cornell University Itacha, New York, USA, Prof Jeffrey A Winters dari Northwestern University, Chicago, USA., Gus Dur, Try Sutrisno, Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Christianto Wibisono, Aristides Katoppo, Rizal Ramli, Effendi Gazali, Faisal Basri, Rm Benny Susetyo Pr, Sujiwo Tejo, dan sebagainya. Membaca buku yang sangat terbuka, jelas, keras, serta urgen ini, napas kita ikut turun naik, ikut geram dengan apa yang telah dan tengah terjadi akibat banyaknya kerusakan dan ketamakan yang dilakukan secara melembaga oleh kelompok-kelompok yang hanya mementingkan diri dan golongannya. Apa yang didiskusikan dalam buku ini, sangat menyentuh nurani rakyat yang selama ini ditindas, dieksploitasi, disingkirkan, dikecewakan, dan dikorbankan.
Saurip Kadi mengatakan landasan virus ini adalah warisan politiknya Soeharto, diktator militerisme, korupsi berskala gunung, pembungkaman pendapat umum, rusaknya sendi hukum yang sehat, pengadu domba sinis antara kubu-kubu etnis dan agama, penghancur demokrasi dan HAM, dan seribu satu lagi. Indonesia yang disebut-sebut sudah mengalami reformasi itu, ternyata kamuflase. Pada masa Orba memang tampak ada kemajuan, tapi itu bukan bukti riil keberhasilan, karena sesungguhnya banyak manipulatifnya. Semu dan penuh rekayasa. Korupsi tidak lagi dianggap dosa, pejabat negara bergaji pas-pasan tanpa penghasilan tambahan yang sah bisa hidup kaya raya.
Pemerintahan Bung Karno dan juga Soeharto gagal menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya, berimbas pada stabilitas tingkat kenegaraan. Di sanalah terjadi berulang kali krisis kenegaraan. Lebih parah lagi karena UUD 45 membenarkan bahwa presiden, yang notabene adalah kepala negara bisa dihentikan di tengah jalan oleh MPR seperti yang dialami oleh Bung Karno dan dan juga Gus Dur (hal 10).
Saurip Kadi menegaskan, Indonesia harus keluar dari penyakit kronis ini. Caranya, tak ada pilihan lain kecuali melakukan corporate restructuring menuju model BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat) yang bertumpu pada people cybernomics. Maksudnya, sentra-sentra produksi masyarakat diorganisasi dalam sebuah jaringan yang berbasis teknologi informasi telekomunikasi sehingga terbentuk jaringan pasar lokal, nasional, dan menjangkau global. Gagasannya diuraikan dalam bab per bab tentang menyusun ulang sistem kedaulatan, pemurnian dan implementasi Pancasila, nasionalisme baru Indonesia, reformulasi UUD, refungsionalisasi kelembagaan negara, tentara bela rakyat (visi baru kedaulatan rakyat), paradigma baru manajemen pemerintahan, kabinet enterpreneur, memerangi KKN, kepemimpinan yang kuat, potret bangsa, hingga tentang kencan ideologis.
Apakah dengan konsep pemikirannya itu Saurip Kadi mau terjun ke dunia politik dan mempersiapkan diri untuk tahun 2009? Waktulah nanti yang menjawab. Yang pasti, buku mengenai kajian dan visinya tentang Indonesia di masa depan itu, seperti yang ditulisnya di halaman pengantar. [SP/Rina Ginting]

Bukan Fenomena Baru

Bukan Fenomena Baru

Judul: Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia
Penulis: Budi Winarno
Penerbit: Erlangga
Tebal : 97 halaman
Tahun : 2008


Globalisasi dan regionalisme ekonomi kini telah menjadi salah satu isu menarik. Sebaga isu yang sering dibahas, masalah ini menjadi fenomena multifaset yang menimbulkan berbagai interpretasi, terutama saat dikaitkan dengan kesejahteran umat manusia.
Ada yang melihat globalisasi ekonomi sebagai suatu keniscayaan sejarah yang akan membawa kemakmuran, perdamaian, dan demokrasi bagi umat manusia. Namun ada pula yang meyakini, globalisasi ekonomi akan mengakibatkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan, dan semakin meluasnya kemiskinan.
Menurut penulis buku ini, Budi Winarno, Guru Besar Ilmu Politik dan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol dan Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tak ada kata sepakat mengenai makna globalisasi di kalangan ilmuwan. Setiap kelompok ilmuwan memiliki definisi yang disesuaikan dengan lingkup idealisme dan perspektif yang mereka gunakan. Terlebih lagi saat membahas ruang lingkup, besaran, dan keuntungan yang akan didapat dari globalisasi ekonomi.
Sementara itu, kaum skeptis misalnya memandang globalisasi hanyalah mitos (Hirst & Thompson, 1996). Oleh karena itu, sebenarnya bukan globalisasi ekonomi yang muncul, melainkan bentuk regionalisme ekonomi. Pada tataran tertentu, mereka menolak terminologi semacam ekonomi global, mereka lebih suka menggunakan konsep globalisasi ekonomi yang lebih memiliki makna "menuju pada", dibandingkan sebagai sesuatu yang sudah jadi.
Tantangan ke arah globalisasi, di sisi lain di dasarkan pada kenyataan, bahwa dalam rentang dua dekade sejak tahun 1980-an, di mana globalisasi neoliberal semakin intensif menerpa dunia. Sementara tingkat kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan semakin meluas. Kemiskinan menjadi semakin parah di negara-negara dunia ketiga, seperti di negara Afrika sub-Sahara. Ketimpangan juga semakin melebar ke semua tempat, baik antarnegara maupun dalam negara.
Negara-negara dunia ketiga yang sebagian besar di wilayah selatan, semakin tertinggal tingkat kemakmurannya dibandingkan negara-negara maju. Sedangkan di negara-negara maju tersebut, ketimpangan semakin besar antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin, yang akan berpengaruh terhadap wilayah lain.
Salah satu ciri penting globalisasi, dunia, dan pasar kini terintegrasi dan terkoneksi satu sama lain dalam lingkungan tanpa batas. Akibatnya gejolak mata uang pada suatu wilayah kaum globalis menunjuk salah satu kasus krisis moneter di negara-negara Asia pada pertengahan tahun 1997.
Hal yang dapat disimpulkan dari silang pendapat perdebatan, bahwa globalisasi memiliki banyak wajah dan tak dapat dilihat secara sepotong-sepotong. Sebagai sebuah fenomena sosial, ekonomi dan politik, globalisasi membawa hal-hal yang positif dan juga negatif. Jadi, globalisasi adalah peluang dan sekaligus ancaman. Globalisasi akan menjadi peluang yang menjanjikan kemakmuran, demokrasi dan keadilan jika dapat dikelola dengan baik.
Budi Winarno menolak pendapat para pendukung globalisasi ekonomi yang menyatakan, bahwa pasar merupakan fenomena alamiah. Sementara globalisasi menurut mereka adalah fakta sejarah yang tak dapat dikelola. Sebaliknya, pasar adalah tetaplah hasil kreasi manusia. Oleh sebab itu menurut mereka, globalisasi dapat diarahkan untuk kemajuan umat manusia. Jadi, tak ada tangan-tangan ajaib (invisible hands) yang mengendalikan pasar. Dengan demikian pasar global adalah hasil kebijakan pemerintah.yang mendukung liberalisasi pasar pada titik tertentu.
Oleh karena itu, perlu dicari sebuah formulasi hubungan yang seimbang antara negara dan pasar. Pasar tak dapat dianggap sebagai satu-satunya mekanisme yang dapat dipercaya dalam mendistribusikan sumber ekonomi langka. Jika ekonomi pasar dibiarkan berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri, maka ini akan menciptakan keburukan-keburukan yang dahsyat dan permanen.
Fenomena kemiskinan yang semakin parah di negara-negara dunia ketiga, dan meluasnya ketimpangan merupakan akibat keyakinan yang berlebihan pada kekuatan pasar. Jadi, globalisasi ekonomi yang didasarkan pada tatanan neoliberal merupakan ancaman bagi usaha-usaha untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan.
Globalisasi menurut Budi Winarno, dalam bagian berikutnya, sebenarnya bukanlah fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Jauh sebelum nation state, perdagangan dan migrasi lintas benua, kurang lebih sejak lima abad lalu, negara-negara yang perekonomiannya yang sudah maju melakukan perdagangan ke berbagai belahan dunia. [Fadil Abbas, pemerhati buku]

Mengglobalkan Indonesia Lewat Buku

Peluncuran buku terbitan Equinox
Berjudul Indonesian Odyssey: A Private Journey Through Indonesias Most Renowned Fine Art Collections di Balaikota Jakarta, 20 April 2008, yang antara lain dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (kiri).
Senin, 12 Mei 2008 01:13 WIB
Oleh BI PURWANTARI

Zaman globalisasi saat ini memungkinkan berbagai jenis komoditas masuk pasar dunia, tak terkecuali komoditas kebudayaan seperti buku. Di Indonesia sendiri, ribuan buku karya dan tentang negeri lain masuk dan dikonsumsi jutaan penduduk. Sebaliknya, belum banyak buku karya anak negeri ataupun tentang Indonesia yang mengisi rak-rak buku warga dunia.
Salah satu penerbit yang berupaya membawa Indonesia masuk ke dalam perbincangan komunitas dunia adalah Equinox. Didirikan tahun 1999 oleh Mark Hanusz, seorang warga Amerika Serikat, yang menjadi pemilik sekaligus managing editor, Equinox menerbitkan puluhan buku karya penulis asing tentang Indonesia ataupun beberapa karya penulis dalam negeri. Tema-tema buku sangat bervariasi, mulai dari tema akademik, seperti analisis ekonomi, politik, ilmu sosial di Indonesia, demografi, militer, kebijakan luar negeri Indonesia, hingga tema sastra, biografi, sejarah organisasi serta produk kebudayaan Indonesia, seperti rokok keretek, kopi, ataupun seluk-beluk kehidupan warga Jakarta.
Untuk bisa masuk pergaulan global, Equinox menerbitkan karya orang Indonesia dalam bahasa Inggris, selain puluhan buku yang memang ditulis dalam bahasa Inggris. Seluruh buku terbitannya juga dijual lewat toko buku terbesar dunia, yaitu situs www.amazon.com, selain beberapa distributor dunia dan institusi akademik, seperti Institute of South East Asian Studies (ISEAS). Ragam tema dan isi yang menarik membuat cukup banyak di antara buku-buku terbitannya menjadi pembicaraan buletin, koran, dan majalah asing, seperti New York Times, Asia Observer, South China Morning Post, Straits Times, Far Eastern Economic Review, Time Asia, The Asian Review of Books, dan International Institute for Asian Studies.
Namun, Equinox tetap menyediakan beberapa judul yang diterbitkan dalam bahasa Inggris ataupun Indonesia, agar lebih banyak warga Indonesia ikut membacanya.
Dari saham ke buku
Awalnya adalah tahun 1998, ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi. Saat itu Mark Hanusz telah bekerja di Swiss Bank Corporation (SBC) selama tujuh tahun dan dua tahun ditugaskan di Jakarta menangani penjualan saham. Krisis mengakibatkan perdagangan saham sepi, tak ada orang mau menjual atau membeli saham. Alih-alih kembali ke tanah airnya, Mark Hanusz memutuskan tetap tinggal di Indonesia. Ia pun lalu melakukan riset tentang keretek dan menuliskannya dalam bentuk buku.
”Sudah sejak lama saya ingin sekali menulis buku. Saya kira itu keinginan semua orang. It’s human nature,” ceritanya. Ia pun memulai riset tentang rokok keretek yang membawanya ke berbagai tempat di Indonesia bahkan hingga ke Belanda, terutama Tropen Museum di Amsterdam dan Leiden. ”Waktu itu banyak bisnis mati di sini, tetapi industri rokok tidak. Ia justru paling laku. Dan keretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia,” papar laki-laki kelahiran 26 Juli 1976 ini.
Totalitas menulis buku dibuktikan Mark Hanusz dengan bekerja full-time dari pagi hingga malam sejak konsep hingga akhir penulisan selama 18 bulan. Ia mendatangi keluarga Nitisemito, pelopor industri rokok keretek Indonesia, untuk menuliskan sejarah awal produksi massal keretek di Kudus, Jawa Tengah. Selain itu, ia juga berkeliling ke 60 perusahaan rokok yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta pergi ke Sulawesi untuk meneliti cengkeh yang digunakan di dalam produksi keretek. ”Saya pegang semua pekerjaan saat itu, wawancara, mencari foto-foto, menulis, mengedit, dan membiayai semua proses hingga penerbitan. Tidak ada sponsor, tidak ada penerbit. I was crazy at that time,” urainya lagi.
Penerbitan buku tentang keretek itulah yang menjadi awal mula berdirinya Equinox Publishing. Buku berjudul Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes diluncurkan pada 21 Maret 2000 di Jakarta yang dimeriahkan dengan peragaan pembuatan rokok kelobot, rokok dengan pembungkus daun jagung, dan sekaligus sebagai pengumuman tidak resmi tentang Equinox. ”Sebetulnya saya tidak pandai menulis. Ada dua buku lagi yang saya tulis bersama teman setelah Kretek, tetapi tidak sebagus Kretek. Namun, saya kira saya lebih pandai mengelola bisnis buku daripada menulis buku,” jelas Mark Hanusz dengan lugas.
Tentang Indonesia
Selama delapan tahun, Equinox telah menerbitkan 74 judul buku yang menjabarkan berbagai aspek tentang Indonesia. Terbagi atas kategori fiksi, nonfiksi, illustrated books, buku-buku akademik, dan seri klasik Indonesia, Equinox menampilkan ragam persoalan dengan berbagai sudut pandang, yang ditulis oleh orang Indonesia ataupun asing.
Beberapa buku nonfiksi yang ditulis oleh Ken Conboy, seorang konsultan manajemen keamanan yang telah tinggal di Indonesia sejak 1992, misalnya, memaparkan sejarah serta seluk-beluk lembaga militer Indonesia, baik pasukan elite di ke-empat angkatan, Kopassus, ataupun lembaga intelijen negara. Buku lainnya yang ditulis oleh Wimar Witoelar mengungkap hal-hal yang terjadi saat ia menjadi Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid.
Pada aspek lain, terbit juga buku tentang pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, berjudul The Invisible Palace yang ditulis Jose Manuel Tesoro, seorang koresponden majalah Asiaweek. Buku ini mendapat predikat buku terkemuka dalam Kiriyama Award pada tahun 2005, sebuah institusi yang mendorong terbitnya karya-karya untuk menumbuhkan dialog kebudayaan antarbangsa di kawasan Pasifik dan Asia Selatan.
Ulasan cukup banyak diberikan kepada buku Equinox lainnya yang berjudul Jakarta Inside Out, karya Daniel Ziv, mantan Pemimpin Redaksi djakarta!. ”Berbeda dengan buku-buku tentang wisata untuk para turis, Daniel Ziv menyajikan aspek yang tidak klise tentang sebuah kota dengan bahasa populer, foto-foto dengan sudut pengambilan gambar yang tidak biasa, tetapi tetap berbasis pada pengamatan yang mendalam,” tulis majalah Time Asia. Sementara itu, Far Eastern Economic Review menyebut buku Ziv, ”Berhasil memadukan gambaran tentang karakter sebuah Ibu Kota negara dengan format baru gaya penulisan pop-art.”
Gambaran tentang Indonesia dilengkapi Equinox dengan penerbitan kembali buku-buku yang tidak lagi dicetak, tetapi memiliki arti penting dalam pembentukan pemahaman tentang Indonesia. Terdapat 16 judul yang telah terbit dan dikategorikan sebagai Classics Indonesia. Sebagian besar di antaranya pernah diterbitkan oleh Cornell University, AS, seperti buku Language and Power dari Benedict Anderson yang pernah terbit tahun 1990, Army and Politics buah pena Harold Crouch dan terbit pertama kali tahun 1978 serta pernah dilarang beredar di sini, ataupun buku Villages in Indonesia karya Koentjaraningrat yang pernah terbit tahun 1967.
Dalam peluncuran tujuh judul seri Classics Indonesia pada Maret 2007, salah satu buku, yaitu The Rise of Indonesian Communism karya Ruth T McVey, dicekal oleh Bea dan Cukai. ”Buku itu dicetak di luar negeri. Ketika dibawa masuk ke Indonesia, ditahan oleh Bea dan Cukai. Kurang jelas alasannya. Sampai saat ini tidak ada yang memberi tahu saya kenapa buku itu tidak bisa keluar dari Bea dan Cukai,” jelas Mark Hanusz.
Ketika diajukan kemungkinan komunisme sebagai alasan pencekalan, ia menjawab sambil menunjukkan keheranannya, ”Buku itu adalah buku sejarah, bukan buku yang mempromosikan ideologi komunisme. Dan semua orang sudah tahu bahwa memang dahulu di Indonesia ada partai komunis yang besar sekali. Pada saat peluncuran itu Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan bahwa buku itu boleh beredar di sini.”
Margin kecil
Sebagai penerbit berbahasa Inggris yang mengkhususkan diri pada buku-buku mengenai Indonesia, Equinox mendistribusikan sebagian besar buku-bukunya keluar Indonesia. Harga banderolnya pun dipasang sesuai standar pasar dunia, mulai dari 8 dollar AS hingga 75 dollar AS. ”Penerbit buku Indonesia yang agresif sekali adalah ISEAS, sementara Oxford Asia sudah tutup dan penerbit lainnya tidak banyak,” jelasnya lagi. Dengan kata lain, di dalam pasar buku Indonesia di dunia, Equinox hampir-hampir tidak memiliki saingan.
Hingga kini buku Equinox yang cukup banyak terjual adalah novel karya Pramoedya Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Tales from Djakarta sekitar 4.000 eksemplar. Buku lainnya, Jakarta Inside Out, terjual 3.000 eksemplar dalam kurun waktu empat bulan. ”Awalnya kami mencetak di luar negeri, yaitu di AS dan Inggris. Sekarang semua buku kami cetak di sini dan Equinox sudah mengeluarkan banyak buku. Jadi bisnis ini sudah lumayan,” paparnya tanpa bersedia menyebutkan omzet yang didapat setiap tahun.
Meskipun demikian, Equinox memiliki komitmen lain, yaitu turut melestarikan lingkungan hidup, terutama hutan Indonesia. Oleh karena itu, sejak awal penerbitan buku seri Classics Indonesia, Equinox menggunakan kertas daur ulang yang diimpor dari Denmark. ”Ongkosnya memang lebih mahal sehingga margin profit kecil, but it’s good for the environment,” ujarnya.
Untuk menyiasati ongkos yang mahal tersebut, Equinox menerapkan sistem print on demand (POD), yaitu mencetak sesuai permintaan. Hal ini akan menghindari buku dengan ongkos produksi lebih mahal menumpuk di gudang. Hingga saat ini buku Java in A Time of Revolution karya Ben Anderson merupakan buku dari kategori ini yang paling banyak diminati. (BI Purwantari/ Litbang Kompas)