Sabtu, 13 September 2008

Kepentingan Penerbit, Keinginan Peresensi

Oleh Anwar Holid

HUBUNGAN peresensi dengan penerbit ternyata cukup kompleks. Ini terjadi karena dalam diri peresensi terkandung beberapa aspek pembacaan dan kepenulisan, antara lain menyatu sekaligus sebagai pembeli (konsumen), pencinta (penikmat) buku, dan kritikus buku. Sementara kepentingan penerbit biasanya lebih langsung dan jelas, ialah harapan agar terbitannya diterima khalayak (pasar), diapresiasi dengan baik, dan cukup pantas untuk dibanggakan.

Mencari pola kerja sama yang pas dan fleksibel antara penerbit dan peresensi merupakan tema pertemuan peresensi Penerbit Matahati, yang diadakan di perpustakaan Bale Pustaka, Bandung, 28 Agustus 2008. Di awal berdiri, Matahati boleh jadi paling dikenal karena menerbitkan tetralogi Kisah Klan Otori (Lian Hearn.) Mereka kini menerbitkan fiksi dan nonfiksi, mulai dari genre fiksi fantastik sampai buku manajemen motivasi diri dan wawasan dunia medis. Hadirin hampir semua sekaligus merupakan blogger, dengan rentang kecenderungan antara sebagai desainer dan komikus, penulis buku dan cerpen, jurnalis, dan pendidik Buku dan tulisan sudah mengurat dalam diri mereka.

Mayoritas peresensi mengaku idealnya ingin meresensi buku yang benar-benar mereka sukai; artinya meresensi itu pada dasarnya sulit bila dipaksakan. Peresensi bahkan bisa suka rela dan senang akan meresensi buku yang mengesankan serta mampu menimbulkan impuls atau hasrat menulis. Biasanya, resensi yang lahir dari kondisi ideal itu akan persuasif, berhasil meyakinkan orang lain---terutama kawan dekat dan komunitas---bahwa pilihan dan penilaiannya tepat, dan secara alamiah merupakan tulisan yang bagus. Efeknya bisa luar biasa, antara lain menjadi word of mouth berbentuk tulisan yang sangat mempengaruhi keputusan beli pembaca. Rekomendasi kawan dekat ternyata bisa jauh lebih tepercaya dibandingkan endorsement pesohor (selebritas) sekalipun.

Boleh jadi pada kondisi seperti itulah kepentingan penerbit dan keinginan peresensi bertemu dan bernegosiasi. Penerbit berkepentingan agar produknya segera dikenal publik, diserap pasar, segera mendapat publikasi seluas mungkin, dan jadi topik pembicaraan kalangan yang disasar.

Minat terhadap jenis buku tertentu sangat berpengaruh terhadap kemauan peresensi dan mood menulis sebenarnya bisa dibentuk atau dilatih. Meski harus diakui peresensi pun bisa gagal menulis karena kurang disiplin dan profesional. Di sisi lain peresensi yang berdedikasi kerap butuh waktu untuk secara bersamaan menikmati dan menemukan inti buku, sebelum memutuskan mengulas dan menyatakan kepada publik apa buku tersebut pantas direkomendasikan atau malah dikomentari dengan pedas saking banyak hal yang bisa dikecam. Apa pun hasilnya, minimal peresensi menceritakan hasil pembacaannya. Itulah yang paling penting, bahwa sebuah buku sudah diselami, dijelajahi, masuk dalam ingatan, untuk suatu saat muncul lagi, baik dalam obrolan, berinteraksi dengan pembaca lain, atau ketika menulis.

"Keinginan menulis resensi bisa muncul begitu saja," kata Hermawan Aksan. "Ada dua jenis buku yang bisa membuat keinginan meresensi saya timbul, yaitu buku yang sangat bagus dan buku yang sangat jelek. Tentu saya berharap penerbit memproduksi buku yang bagus."

Di zaman Internet ini, peresensi yang terbiasa posting di blog (book blogger), milis, dan situs jaringan komunitas interaktif makin menemukan kekuatan daya tular. Situasinya kian hari tambah menantang dan menarik. Sebagian penulis lebih memilih media ini karena faktor kemudahan, kebebasan, informalitas, juga kemerdekaan dan sifat demokratisnya. Sudah terbukti bahwa media baru ini secara umum bisa meningkatkan publisitas buku, mempengaruhi penjualan dan reputasi, meski data resmi mengenai pengaruhnya sulit dipastikan. Sifat interaktivitas media ini memungkinkan orang langsung berkomentar, berbagi, merespons, menambah, dan mengaitkan dengan buku lain maupun subjek lain (misalnya film, musik, politik.) Di sinilah peresensi mendapat "surga", mereka bertemu dengan sesama pencinta buku.

Karakter penulisan blog yang berbeda dengan karakter media massa konvensional membuat sejumlah blogger yang mau meresensi dan menulis sesuai kriteria media tersebut merasa kerap kesulitan menembus ketentuan redaksi. Pada satu sisi, ini kerap dianggap sebagai kekurangan resensi di blog dan masih membuat penerbit pikir-pikir untuk melibatkan mereka dalam publisitas buku. Tapi bayangkan sebuah resensi yang dikirim ke milis dengan ribuan anggota atau bisa memicu respons antusias banyak orang di sebuah blog, tentu situasi seperti itu menggembirakan penerbit dan penulis bersangkutan.

Sudah terbukti tulisan di blog dan milis bisa menguatkan daya pikat buku dan menaikkan reputasi peresensi. Perhatian penerbit pada peresensi berkisar antara secara rutin mengirim buku baru dan sesuai favorit, memberi honor tambahan untuk resensi yang ditulis, dipublikasi, maupun disebar ke milis, sampai mengikat kontrak untuk jadi publisis penerbit atau judul tertentu. Mungkin menarik juga menimbang memberi insentif untuk online khusus demi mengirim resensi yang diinginkan penerbit.

Poinnya ialah apa pun bentuknya, penghargaan itu penting. Penerbit menghargai peresensi dengan pantas, pembaca merespons, sedangkan peresensi menghargai penerbit dan pembaca dengan resensi yang bagus dan informatif. Interaksi intens antara penerbit dan peresensi kerap merupakan kunci pengikat emosi kedua belah pihak.[]

Pertama kali dimuat di Republika, Minggu, 7 September 2008.

Ayo Nikmati Efek Dahsyat Membaca !!!

Ayo Nikmati Efek Dahsyat Membaca!!!

Setelah melakukan shalat dhuhur ke 9 di bulan Ramadhan 1429 H, Hernowo didapuk untuk menyampaikan materi ter”anyar”nya yaitu “Menulislah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit”. Buku ke 33 yang ditulisnya ini merupakan serangkaian buku tentang menulis lainnya yang sudah dituliskannya dalam usianya yang sudah memasuki kepala 4 ini.

Meskipun di Bulan Ramadhan, namun saya merasa menjadi salah satu orang yang paling beruntung untuk menyaksikan dan melihat semangatnya yang menggebu-gebu dalam menyampaikan materi yang ia tulis tersebut. Bahkan, sampai sekarang Hernowo Tak pernah berhenti dalam memberikan wawasan kepada setiap orang yang dijumpainya dalam setiap training atau ceramahnya. Ya, materi yang disampaikannya sebagian besar adalah tentang membaca dan menulis.

Dalam pemaparannya Hernowo mengungkapkan tentang pentingnya membaca. Kenapa Penting? Karena banyak orang yang menganggap bahwa kegiatan membaca itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak luar biasa, dahsyatnya membaca ini menurutnya jarang disentuh -terutama untuk orang-orang yang awam. Padahal wahyu pertama yang turun dari Allah kepada Rasulullah Saw adalah surat Al-'Alaq, yaitu Iqra.... (Bacalah).

Kalo saja kita sering meluangkan waktu, banyak hal yang dapat dimanfaatkan dengan membaca. Karena banyak sekali buku yang dengan jenis fiksi dan non fiksi (novel, biografi, sains fiction, psikologi, filsafat dll), yang memberikan dan menawarkan sesuatu yang baru. Begitu juga bagi Mas Hernowo. Dalam bukunya ini, beliau banyak menuliskan buku-buku dan para penulis yang mempengaruhinya. Ada Quantum Learning, Laskar Pelangi dgn Andrea Hirata, Harry Potter dgn JK Rowling, Dr. Howard Garrdner dengan teori Multiple Intelliegences, Rhenald Kasali, R.T. Kiyosaki, Stephen R. Covey dll. Ia merasa seperti diajak mengembara ke tempat-tempat yang jauh, dan memiliki banyak sekali kehidupan.

Menurut Edward Coffey -yang saya kutip dari buku membacalah Agar dirimu Mulia-
Kegiatan membaca yang dpt diselenggarakan secara kontinyu dan konsisten dapat menciptakan lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti-rugi perubahan otak. Oleh karenanya proses membaca itu dapat menggantikan sel-sel yang mati di dalam otak kita karena tidak pernah dipergunakan, untuk kemudian menjadi sel baru yang lebih hidup.

Ketika Mas Hernowo memberitahukan tentang minat baca di Indonesia yang masih nol persen, salah seorang Audience di Mesjid Bio Farma merasa getir. Ia yang pernah merasakan hidup di Negeri Sakura, terkagum-kagum melihat semangat membaca masyarakat Jepang. Karena setiap hari, setiap saat, setiap orang yang ditemuinya, benar-benar tidak dapat dilepaskan dari buku. Dari mulai anak-anak sampai dengan orang dewasa. Dari mulai mengantri untuk mendapatkan kereta, menunggu panggilan di tempat praktek dokter, sampai dengan menunggu tibanya kereta di tujuan. Setiap orang terlihat bersemangat dalam membaca.

Budaya baca di Indonesia makin tergerus oleh media-media elektronik yang terus menerus menggempur kita. Bahkan dengan terus berkembangnya arus informasi serta teknologi, maka kebanyakan kita belum siap untuk mengantisipasinya. Seperti teknologi televisi misalnya, para pemilik stasiun televisi berlomba-lomba untuk mendapatkan jatah kue iklan untuk masing-masing stasiun tv-nya. Bahkan seringkali, banyak program tayangan mereka yang tidak mendidik. Kita-lah (para orangtua, para pendidik dan yang lainnya) yang harus memiliki filter agar mengalihkan kenikmatan menonton dengan kenikmatan membaca. Karena membaca -menurut mas Hernowo - adalah sebuah keterampilan sebagaimana memasak atau juga menyetir mobil. Dengan membiasakan membaca setiap hari selama 10-15 menit, tentunya kemampuan membaca kita akan terus meningkat.

Akhirnya setiap diri kita dituntut untuk dapat merasakan efek dahsyat dari membaca ini. Dan di dalam buku Membacalah Agar Dirimu Mulia ini, Hernowo memberikan semua informasi yang kita butuhkan tentang membaca. Bahkan saya sendiri merasa sedang kembali di charge untuk mengembalikan kenikmatan-kenikmatan itu agar kembali bersarang di dalam jiwa saya, sehingga dipenuhi oleh gairah-gairah membara.

Rayakanlah Kegiatan Membaca Anda. Berbanggalah Bahwa Diri Anda Telah Menjalankan Kegiatan Yang Mulia Teruslah Membaca. Hernowo. Salam, Agga

Jumat, 12 September 2008

Cara Mencapai Puncak Tujuan Membaca

TIMBANGAN BUKU
Sumber : Harian Kompas Minggu, 2007
Oleh ONI SURYAMAN
Membaca adalah symbol sebuah peradaban. Ia membedakan peradaban maju dengan primitive, antara Negara maju dan Negara berkembang. Melihat begitu pentingnya membaca, ia pun dijadikan salah satu indeks bagi pembangunan manusia, yang sering dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan sebuah Negara.

Membaca memiliki tiga fungsi. Pertama, memberikan informasi, misalnya dengan membaca Koran dan majalah. Yang kedua, memberikan hiburan, misalnya dengan membaca novel. Yang ketiga, yang paling penting tetapi sekaligus paling sulit, memberikan pengertian. Sebuah buku bisa saja memberikan pengertian sekaligus menghibur dan memberikan informasi.

Modernisasi telah menawarkan substitusi bagi kegiatan membaca, dengan lahirnya media audio-visual. Kehadiran audio-visual membuat informasi menjadi lebih “nyata” ketimbang membaca, tetapi di lain pihak mengurangi bahkan meniadakan daya cerna pemirsa. Sesuatu yang mutlak dibutuhkan dalam membaca untuk mencari pengertian.

Dalam keadaan seperti inilah buku ini hadir, mengingatkan kita akan pentingnya membaca untuk mencari pengertian dan mengajari kita bagaimana melakukannya. Membaca seperti inilah yang menjadi tonggak peradaban.

Pendidikan seumur hidup
Membaca mendapatkan pengertian adalah pendidikan seumur hidup secara intelektual. Sekolah semestinya mengajarkan hal ini secara berjenjang. Dengan demikian, setelah lulus dari sekolah lanjutan, seseorang sudah bisa menikmati dan memahami hamper semua bacaan, dan menjadi pembelajar seumur hidup.

Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Banyak mahasiswa yang masih kesulitan membaca di level ini, bahkan sarjana pun masih banyak yang kedodoran. Akibatnya mereka berhenti belajar, begitu selesai dari sekolah

Manfaat sesungguhnya dari membaca pun disia-siakan, menjadi sekadar untuk membaca buku teks, Koran, bukan untuk membaca buku. Ini terbukti dari angka penjualan buku non-fiksi, khususnya sains, baik ilmu alam maupun ilmu social, yang masih rendah. Hal ini tidak berimbang dengan oplah surat kabar, majalah, dan buku fiksi yang jauh lebih tinggi. Inilah bukti bahwa orang baru bisa menikmati bacaan untuk informasi dan hiburan, belum untuk menemukan pengertian.

Tahapan Membaca
Buku ini menjelaskan cara meningkatkan kemampuan membaca secara berjenjang: membaca dasar, inspeksional, analitis, dan sintopikal (tematis), dan juga sejumlah tes sesuai jenjang itu. Tahapan-tahapan ini harus dijalani secara beruntun karena tidak mungkin untuk maju ke tahap berikut tanpa menguasai tahapan sebelumnya.

Tingkat yang pertama adalah membaca dasar, yang semua kita sudah kuasai, yaitu mengeja, membaca kata dan kalimat menerjemahkan symbol menjadi sebuah bunyi yang bermakna. Membaca tingkat ini semestinya dikuasai seseorang sesudah menamatkan sekolah dasar. Ini ditandai dengan kemampuan membaca yang lancer tanpa patah-patah, dan kemampuan membaca di dalam hati (silint reading).

Bagian berikutnya adalah membaca inspeksional. Sekilas membaca inspeksional dapat disamakan dengan membaca cepat. Namun, bukan itu yang dimaksud buku ini. Membaca inspeksional adalah membaca sekilas, atau selayang pandang, secara sistematis sambil mengajukan pertanyaan kepada teks yang kit abaca dan berusaha menjawabnya selagi kita membaca.

Ada dua manfaat yang bisa didapat dari membaca sekilas ini. Yang pertama, untuk menentukan apakah buku itu layak atau tidak untuk kit abaca secara lebih mendalam. Dalam contoh praktisnya adalah untuk menentukan apakah buku itu layak kita beli atau pinjam. Yang kedua adalah mendapatkan ide dasar dari buku tersebut, tanpa harus mendalami detailnya. Ini sangat membantu jika nantinya kita mau mendalami buku ini lebih lanjut, atau kalau kita sekadar ingin tahu garis besar buku tersebut.

Dalam level ini juga kita belajar bagaimana membuat catatan kaki, coretan-coretan, yang nantinya akan membantu kalau ingin membaca buku tersebut secara lebih mendalam. Beberapa tips menarik diberikan untuk membantu memilih bahan bacaan yang baik.

Orang sering terjebak pada level ini, yaitu membaca cepat, karena menganggap inilah level pencapaian tertinggi dalam membaca. Adler menunjukkan bahwa membaca buku seharusnya dengan kecepatan yang sesuai. Buku atau bagian bacaan yang seharusnya dibaca dengan cepat jika kit abaca dengan perlahan akan menghabiskan waktu dengan percuma.

Berikutnya adalah membaca analitis. Inilah membaca dalam arti sesungguhnya. Dalam tahap ini kita “mengunyah dan mencerna” bacaan, menjadikannya bagian dari diri kita. Keterampilan tahap ini seharusnya dimiliki para lulusan SMA dan atau S1. Ia bisa menyarikan, memaparkan kembali, maupun mengkritik sebuah bacaan.

Teknik membaca analitis menduduki porsi terbanyak di dalam buku ini karena pada tahapan inilah membaca menjadi aktivitas yang komprehensif, melibatkan semua upaya pikiran, dalam mendalamibacaan. Memang, membaca pada level ini akan melelahkan, tetapi hasil yang diperoleh sungguh sebanding dengan upaya yang dicurahkan.

Dan terkahir adalah membaca sintopikal, membaca beberapa buku dalam tema yang sama, membandingkan, menganalisis, menyintesis, mereka menjadi sebuah ide yang baru. Kemampuan ini semestinya dimiliki seorang sarjana karena menulis skripsi berdasarkan studi kepustakaan sangat memerlukan keterampilan membaca level ini.

Puncaknya, Adler mengajak pembaca untuk terus menerus meningkatkan kemampuan membaca mereka dengan merekomendasikan sejumlah judul buku yang “layak” dibaca, dan memaparkan manfaat membaca bagi pertumbuhan otak.

Pendidikan “liberal arts”
Sesungguhnya Adler menyusun buku ini di dalam kerangka pendidikan liberal arts yang tidak lagi menjadi warna utama dalam pendidikan, seperti pada beberapa abad lampau. Ini adalah pendidikan generalis, yaitu menguasai kecakapan intelektual dasar agar dapat memahami dan mendalamisenua bidang ilmu.

Pada abad pertengahan seorang sarjana atau baccalaureate menguasai tiga kemampuan liberal arts yang disebut trivium, yaitu gramatika, logika dan retorika, dan empat kemampuan berikutnya yang disebut quadrivium, yaitu aritmatika, musik, geometri, dan astronomi.

Pendidikan saat itu belum menjadi spesialis seperti sekarang. Spesialisai memberikan kemajuan cepat yang bisa kita nikmati, tetapi juga membuat kita kehilangan kemanusiaan, yang bisa dicapai dengan menjadi seorang generalis.

Adler adalah pembelajar mandiri. Ia menjalani pendidikan klasik secara otodidak, setelah drop-out dari sekolah menengah. Ia kuliah di Universitas Columbia sampai akhirnya dianugerahi gelar doctor filsafat, lalu mengajar filsafat di Universitas Chicago. Bersama dengan Robert M Hutchins mereka menjadi pilar liberal arts modern.

Mereka membuat proyek Great Books of Western Civilizations yang merangkum karya-karya litertur, sains, social sains dan filsafat yang paling berpengaruh dalam peradaban Barat, serta mengompilasinya sehingga bisa diakses oleh pembaca awam. Sesudah membacanya, seseorang diharapkan terlibat dalam Great Conversation, urun rembuk dalam perkembangan peradaban dunia.

Buku ini adalah gerbang studi mandiri seumur hidup bagi siapa pun yang ingin mendalami bidang apa saja: sastra, filsafat, sejarah, ilmu alam, ilmu social, matematika, dan lain-lain. Studi seperti ini bisa dijalani oleh siapa saja, yang berniat dan mau berusaha. Darisinilah diharapkan muncul kelas menengah terdidik, yang menjadi pilar dari sebuah Negara demokrasi yang kokoh.

Mungkin, itulah sebabnya Jaques Barzun, seorang budayawan, ilmuan dan pendidik besar Amerika menyebut buku ini “wajib dibaca bagi aiapa pun yang peduli masa depan budaya bangsanya”. Gus Dur menyebut buku ini “sebuah contoh terbaik karya kreatif… yang memampukan kita memahami masalah secara berimbang”. ONI SURYAMA, Cak Tarno Institut

Negosiasi Politik Menjelang Helat Demokrasi

Oleh Aminuddin Siregar

Kevin Kennedi, penulis buku Negosiasi Yang Eefektif, berpendapat bahwa, negosiasi itu lebih merupakan suatu seni ketimbang ilmu pengetahuan. Sebab setiap orang dapat meningkatkan keterampilannya dalam melakukan negosiasi. Tidak saja untuk mendapatkan solusi, tetapi juga untuk menemukan hasil optimal yang disebut sebagai win-win slution. Hasil menang-menang inilah yang juga diinginkan sebagai puncak tertinggi tujuan sebuah negosiasi apa pun saja.

Benar, bahwa negosiasi, banyak dipraktikkan di dunia usaha dan bisnis. Namun, kini negosiasi tidak saja dikenal dalam dunia bisnis, tetapi juga di dunia politik dan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu tidak mengherankan, jika menjelang helat akbar atau pesta demokrasi 2009 mendatang ini akan terjadi negosiasi politik. Suatau hal yang wajar saja terjadi.

Kalau negosiasi lebih menekankan pada seni, maka sama halnya ketika seseoarang menekuni seni, misalnya seni lukis, seni musik, atau seni tari. Di mana seseorang dituntut agar memiliki daya kreatif dan kemampuan berekspresi. Termasuk penguasaan komunikasi politik. Karena memlalui komuikasi politik itulah warna kepolitikan kian nampak jelas.

Selain itu, seorang negosiator juga memiliki kemampuan menggunakan imajinasi. Ia adalah orang yang boleh dikatakan seorang creator. Apakah itu untuk keperluan politik ataupun bisnis. Umumnya mereka juga adalah orang yang cekatan terampil menggunakan bahasa tubuh. Maksudnya mereka tidak saja menggunakan otak kiri, tetapi juga memanfaatkan untuk masuk dari kanan.

Sehingga, seni bernegosiasi yang ditampilkan tidak terlihat kacau-balau, sumbang, dan semacamnya. Tetapi nampak mulus, rapid an teratur, ritmis, santun dan amat lugas. Keluwesan seperti inilah juga menjadikan politik sebagai seni dari segala yang mungkin. Dalam kaitan itu pula politik nampak kian berirama, dan ketukan tempo yang mengundang hasrat berpolitik.

Sayangnya hasrat itu seringkali diarahkan pada hasrat tertinggi, yakni berkuasa. Kalau ini yang terjadi, maka irama itu menjadi tidak lagi enak didengar. Orang kemudian menaksir-naksir dan membuat sejumlah asumsi dan kalkulasi politik. Akibatnya bisa macam-macam, dan banyak hal terlupakan, seperti lupa kepada kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Begitu juga halnya ketika seseorang melakukan negosiasi politik. Biasanya menjelang helat demokrasi, seperti pemilu 2009 mendatang ini, akan hadir negosiator-negosiator politik, sekurangnya untuk membentuk koalisi. Bila tidak dikatakan untuk meraih sebanyak mungkin suara. Tanpa peduli dengan apa yang telah dijanjikan kepada setiap konstituwen dan rakyat pada umumnya.

Dalam konteks itu negosiator telah mengalihkan model kepolitikan, yang seringkali tidak lagi disenangi orang. Padahal ketika negosiasi politik dilakukan, unsur kreasi politiklah yang perlu dinampakkan dan semua janji dan program politik partai dilaksanakan secara konsisten dan penuh komitmen yang mengikat rakyat.

Tentu saja kita percaya kepada politisi mana pun mengetahui hal itu. Mereka juga orang yang sangat jeli melihat peluang politik untuk bisa tampil. Para pemain politik juga adalah orang yang sangat mampu berempati. Buktinya, mereka tidak saja piawai merangkul lawan politik tetapi juga kompeten untuk berkoalisi secara baik dan benar, hingga mendapat sanjungan dari sana sini.

Namun, tidak sedikit kita jumpai, kalau menjelang pemilu seperti sekarang ini orang tiba-tiba saja jadi negosiator, dan punya kemampuan bernegosiasi. Baik yang secara alami tumbuh maupun lahir dari pengalaman, maupun dimunculkan lewat kaderisasi melalui proses panjang dan waktu cukup lama, kemudian pengalaman itu berkembang dan tumbuh dalam diri seseorang sebagai politisi.

Karena itu keterampilan bernegosiasi bisa lebih berhasil. Kesuksesan itu akhirnya membawa seseorang pada pemahaman dan pengetahuan politik lebih mendalam. Apabila pemahaman politik seseorang terlebih dahulu dikuasai, maka besar kemungkinan dapat menerapkannya, sejalan dengan aturan main yang telah disepakati bersama.

Bahwa, kesepakatan antara dua pihak yang akan bernegosiasi perlu dibangun, sembari melihat kesungguhan dan pengorbanan yang diberikan oleh rakyat banyak untuk mendukung dengan sepenuh hati mereka. Dalam konteks kepentingan rakyat inilah sebenarnya para negosiator politik bersepakat membuat komitmen untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Kedua belah pihak bersepakat mematuhinya segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan untuk memajukan rakyat dan meningkatkan kesejahteraannya. Karena mereke inilah nantinya yang akan mencadi pemimpin politik dan menjadi wakil mereka di hamper semua siatuasi politik. Itu artinya mereka tidak hanya bicara diparlemen, tetapi juga bicara kepada rakyat.

Untuk menciptakan negosiasi politik yang tepat diperlukan persiapan, karena persiapan ini merupakan kunci sukses dalam bernegosiasi. Persiapan itu antara lain ialah mengetahui sebanyak mungkin tentang lapa yang dibutuhkan rakyat. Termasuk yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa yang bernama nation state, yakni negara bangsa.

Dengan demikian partai politik yang bernegosiasi dapat dilihat oleh masyarakat politik sebagai partai politik berkarakter. Partai politik yang demikian kemungkinan besar menjadi sangat diminati dan mendapat dukungan sepenuhnya dari rakyat. Meskipun tentu saja tidak mungkin untuk menyamakan masing-masing ideology partai, yang berbeda satu dengan lainnya.

Namun pengetahuan terhadap karakteristik konstituen sangat diperlukan oleh setiap partai. Termasuk mengetahui bagaimana tingkah laku massa pendukung agar tidak menimbulkan persoalan dikemudian hari.. Dalam kaitan inilah peran negosiator politik menjadi sangat fungsional dalam menumbuhkan demokrasi. Selebihnya. Wallahu’alam

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik dan Kemasyarakatan
Bekerja Pada Pusdiklat Regional Depdagri Bukittinggi

Arah Demokrasi Harus Diubah

Sumber : Harian Kompas, Sabtu, 9 Agustus 2008 | 01:01 WIB
Jakarta, Kompas - Demokratisasi yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini harus diubah arahnya. Jika tidak, proses demokrasi yang memakan banyak biaya seperti saat ini semakin membebani rakyat.
”Kita menyaksikan betapa penyelenggaraan pilkada memakan banyak biaya. Seperti pilkada di Jawa Timur, berapa besar anggaran yang dikeluarkan oleh anggaran negara. Belum lagi dana yang disediakan oleh masyarakat dan peserta pilkada,” ujar Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali, Kamis (8/8).
Menurut dia, dana politik yang menghabiskan miliaran bahkan bisa mencapai triliunan rupiah itu akan sangat bermanfaat jika langsung dipergunakan untuk usaha yang langsung bisa memberikan kesejahteraan rakyat.
”Problem lain dari demokrasi yang sudah dijalankan adalah betapa bangsa Indonesia seperti kehilangan nilai budayanya. Seolah-olah tak ada lagi rasa saling menghormati, yang tersisa hanya mau menang sendiri,” ujarnya.
Yang lebih menyedihkan, menurut Suryadharma, hilangnya nilai ini sudah merambah di kalangan calon intelektual.
”Kalangan mahasiswa seperti tidak lagi memegang norma kesopanan, mereka memaki dan mencaci semaunya. Yang lebih buruk lagi sering kali proses demokrasi menghasilkan tindakan destruktif,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal PPP Irgan Chairul Mahfiz menilai, proses demokratisasi yang baru menekankan kelembagaan demokrasi ini memang harus disempurnakan. ”Masih banyak kelemahan, namun itu semua proses. Artinya, bangsa Indonesia, jika serius, pasti akan bisa membangun Indonesia dengan sistem demokrasi yang lebih baik,” ujarnya. (MAM)

Keseimbangan Demokrasi Harus Dijamin

Demokrasi Kita Baru Sebatas Demokrasi
Sumber : Kompas, Sabtu, 9 Agustus 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah harus mampu memerhatikan dan memberikan jaminan terhadap hak-hak warga negaranya, tidak saja terkait hak sipil dan politik, melainkan juga terkait hak-hak sosial dan ekonomi.
”Tidak cuma itu, pemerintah juga harus mampu menciptakan keseimbangan proses demokratisasi, tidak hanya terkait demokrasi dalam konteks politik, melainkan juga demokrasi secara ekonomi dan sosial,” kata Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, Jumat (8/8), saat peluncuran buku karyanya, Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah, di Bentara Budaya Jakarta.
Turut hadir dan memberikan sambutan antara lain Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
”Untuk bisa melakukan semua itu diperlukan falsafah dasar sebagai pemberi arah pembangunan. Filosofi dasar itu tidak lain adalah Pancasila dan UUD 1945. Konstitusi tidak mendasarkan dirinya sebagai liberalisme murni, yang hanya mengutamakan kebebasan dan kemerdekaan politik,” ujar Fadel.
Selain menjamin kebebasan politik dan sipil, konstitusi seharusnya juga menjamin kebebasan ekonomi dan sosial setiap warga negaranya.
”Sayangnya, sejak merdeka hingga sekarang, Indonesia dinilai masih belum menjalankan ideologi Pancasila dan UUD 1945, yang telah dibuatnya sendiri,” ujar Fadel.
Dalam sejarahnya, pemerintahan di Indonesia masih seolah berjalan dari kanan ke kiri, dari penerapan ideologi yang sangat liberal serta kapitalistik dan bahkan sempat pernah menjadi bentuk pemerintahan yang otoriter dan represif.
”Sekarang pun terkesan kuat kebijakan dan kegiatan ekonomi dan sosial yang ada cenderung berjalan secara sangat liberal,” ujar Fadel.
Padahal, liberalisme lebih menginginkan semakin dikurangi dan diperkecilnya peran negara, sementara kebebasan pasar diselenggarakan secara sebebas-bebasnya sehingga diharapkan kemudian akan terjadi semacam keseimbangan di masyarakat.
Demokrasi ”ngomong”
Dalam kesempatan yang sama, wartawan senior yang juga Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama, menyoroti keberadaan demokrasi di Indonesia, yang masih terhenti sebatas bentuk demokrasi ngomong (talking democracy), bukan demokrasi yang bekerja (working democracy).
”Kelemahan sebagian masyarakat kita masih sekadar ngomong doang dan belum melaksanakan. Jadi tidak heran demokrasi kita pun masih talking democracy dan bukan working democracy,” ujar Jakob.
Pendapat senada disampaikan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, salah seorang pembahas buku tersebut. Menurut dia, demokrasi di Indonesia akan selalu mendapatkan tantangan, terutama dari kalangan masyarakat sendiri, khususnya di tingkat bawah (akar rumput).
”Dalam kondisi seperti itu justru para pemimpin di tingkat lokal yang memiliki beban berat untuk menjawab tantangan masyarakatnya,” katanya. (DWA)

JANGAN BUNUH OBAMA!

Author : Hermawan Aksan, Publisher : Mizan Publishing
• Daftar pembunuhan dan usaha pembunuhan Presiden AS
• Sejarah kekerasan dan rasisme dalam politik AS
• Pembunuhan tokoh-tokoh politik kulit hitam: Martin Luther King, Jr. dan Malcolm X
• Ancaman terhadap tokoh-tokoh kulit hitam yang mencalonkan diri sebagai presiden
Pemilihan Presiden AS 2008 berpeluang menjadi tonggak sejarah. Itu karena kemunculan Barack Obama sebagai kandidat kuat presiden. Jika Obama—campuran kulit hitam-kulit putih—terpilih, untuk pertama kalinya Amerika Serikat memiliki presiden kulit berwarna. Terlebih, kekhawatiran akan upaya pembunuhannya telah muncul.

Namun, belum lagi dia terpilih, kekhawatiran akan upaya pembunuhannya telah muncul.

Banyak kelompok dengan terang-terangan menunjukkan permusuhannya terhadap Obama: kaum rasis kulit putih, lobi Israel, kelompok neokonservatif, dan Kristen sayap kanan. Nobelis Sastra Doris Lessing pun menyuarakan kekhawatirannya akan nyawa Obama. Pemerintah AS juga memberikan pengawalan agen khusus bagi Obama jauh lebih awal ketimbang calon-calon presiden lainnya.

Akankah kekhawatiran itu terbukti? Apa pun hasilnya, pemilihan presiden kali ini akan menjadi batu ujian bagi pluralisme dan toleransi di AS.

"Jika Obama jadi presiden, hidupnya tak akan bertahan lama."
-- Bernard Hopkins, mantan juara dunia tinju

"Jika Obama terpilih jadi presiden, mereka akan membunuhnya."
-- Doris Lessing, Nobelis Sastra 2007

Sabtu, 06 September 2008

Otoritas Politik dan Kepemimpinan

Oleh Aminuddin Siregar

Warren Bennis berpendapat bahwa pemimpin efektif dibentuk sekurang-kurangnya sebanding dengan pengalaman dan pengertian serta aplikasi dari pengalaman yang mereka miliki, termasuk keterampilan. Karena itu pemimpin harus belajar dari pengalaman dan kesalahan yang mungkin dibuatnya.
Menurut hemat kami hal-hal seperti itulah yang menjadi inti ulasan yang dikemukakan dalam buku yang sedang kita diskusikan ini. Bahwa belajar dari pengalaman berarti kita harus melihat kembali kemasa lalu, untuk tidak mengulangi kekeliruan yang telah terjadi itu di masa depan.
Dalam kaitan itulah nampaknya kita bisa memaknai pelaksanaan otonomi daerah dan penyerahan wewenang seperti yang diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan demikian kita mesti secara sadar mencari jenis pengalaman yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah sekarang ini untuk meningkatkan dan memperbesar makna kepimpinan yang kita miliki. Kemudian kita bisa menjadi pemimpin efektif yang dapat mensejahterakan masyarakat. Lalu melihat ke masa depan yang lebih baik sebagai kesempatan untuk melakukan semua hal yang perlu dilakukan untuk kepentingan semua pihak atau orang banyak.
Kepemimpinan
Dari ulasan inti persoalan yang dituangkan dalam buku yang ditulis Warren Bennis, sebagaimana dikemukakan di atas. Maka tanggapan kami terhadap seluruh isi buku ini pertama adalah sangat menakjubkan. Semakin dibaca, semakin menarik dan seakan-akan kita diajak menjelajahi dunia dihampir semua belahan bumi.
Karena bahasa yang digunakan cukup lugas, terlepas dari kemampuan penterjemahnya dan mengalihbahasakannya ke Bahasa Indonesia, yang pasti ialah buku ini enak dibaca dan perlu bagi seorang pemimpin. Sehingga dapat menambah wawasan kita terhadap persoalan kepemimpinan atau pemimpin. Selain itu kita juga bisa memperoleh wacana baru tentang pemimpin efektif yang dimaksudkan Warren Bennis. Kita juga dapat memahami jalan pikiran pengarang buku ini.
Buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin menambah wawasannya dalam bidang kepemimpinan. Sebab penulisnya tidak hanya bercerita atau mengarang belaka, tetapi juga memberi contoh-contoh dan model pemimpin efektif. Sehingga ia berhasil menghimpun sebanyak 28 tokoh pemimpin.
Sayangnya dari 28 tokoh pemimpin yang dijadikan sebagai contoh atau model pemimpin efektif menurut penelitian Warren Bennis nampak bahwa ke-28 tokoh itu memiliki kualifikasi yang mampu menciptakan berbagai perubahan melalui usaha keras mereka. Sayangnya, Bennis tidak memberi contoh konkret pemimpin Asia yang punya kualifikasi sebagaimana dimaksudkannya. Sehingga buku ini terkesan Amerika minded.
Kesimpulannya, buku ini memang layak dibaca oleh para pemimpin disemua tingkatan. Sebab pemimpin efektif itu adalah pemimpin yang dapat memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya dengan menggunakan insting baik untuk pengembangan organisasi dan kemajuan yang akan dicapainya maupun dalam mencapai tujuan organisasi itu sendiri.

PENGGABUNGAN SUARA PARTAI, PERLU ITU

Oleh Aminuddin Siregar

Indonesia, seperti halnya negara-negara yang menganut sistem multi partai, pembentukan koalisi partai, bukanlah suatu dosa politik, melainkan suatu langkah positif dan biasa terjadi dalam setiap kehidupan politik. Jadi pendeklarasian koalisi kebangsaan yang diprakarsai partai Golkar, boleh-boleh saja. Biasanya, koalisi diperlukan ketika pemerintahan menghadapi situasi gawat dan dianggap membahayakan negara. Walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk maksud mencapai tujuan lain oleh pihak yang berkoalisi.
Benar, bahwa pelaksanaan koalisi partai ini, memang tidak semudah yang dibayangkan, lantaran banyak ganjalan, rintangan dan hambatan politik termasuk hadirnya pressure dari segala arah penjuru politik. Karena itu dalam pembentukan koalisi dibutuhkan energi yang tidak sedikit. Dibutuhkan kekuatan massa pendukung yang besar, perlu komunikasi politik, sekaligus tindakan-tindakan simbolis, seperti menggalang pertemuan. Termasuk di dalamnya kekuatan electoral college, yang akan menentukan derajat pembuatan konsensus politik.
Dengan kata lain, pembentukan koalisi sangat mungkin dilakukan baik oleh partai maupun oleh kekuatan lain yang mempunyai tujuan yang sama. Termasuk untuk mengumpulkan suara partai dalam pemenangan pemilihan umum (pemilu) presiden maupun untuk maksud pembentukan kabinet atau untuk mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Pemerintahan koalisi inilah yang seringkali dibentuk atas dasar kesepakatan berbagi kekuasaan antar kekuatan politik yang ada.
Dalam kontes itu, proses berkoalisi selain melibatkan banyak pemimpin politik atau elit politik dari berbagai unsur. Juga hampir dapat dipastikan adanya keterlibatan tokoh politik yang berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Sebab mereka inilah antara lain yang dianggap mampu mendorong terjadinya proses reformasi. Biasanya mereka ini juga adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas politik yang baik, di mana pernyataan-pernyataan mereka selalu mendapat perhatian dari khalayak ramai.
Selain itu, kekuatan posisi tawar partai politik juga akan sangat mempengaruhi bagi kelangsungan koalisi partai. Karena di dalam setiap langkah politik yang dilakukan partai, hitungan politiknya mestilah jelas benar. Tidak ada satu hal pun yang tertinggal atau mungkin terlupakan, ketika tawaran politik diajukan. Soal siapa yang melakukannya memang bisa saja bukan ketua umum partai. Tetapi, lazimnya peranan ketua partai sangatlah menentukan sepak terjang dan langkah politik partai ke depan.
Persoalannya, apakah melalui koalisi partai ini calon presiden akan memperoleh suara mayoritas, sementara pemilihan langsung, kelihatannya tidak mengikat setiap anggota partai dalam menetapkan pilihannya ? Koalisi tentu saja sah-sah saja adanya, dan mungkin ada semacam keharusan bagi suatu partai politik untuk melakukannya. Sebab untuk membentuk koalisi berarti dapat mempertegas keberadaan partai baik diparlemen maupun dikursi kabinet.
Bahaya Politis
Pemilihan umum presiden secara langsung, bagaimanapun juga akan tetap menimbulkan dampak dan bahaya politis terhadap perpolitikan kita. Meskipun tidak menjadi ancaman serius bagi partai. Salah satunya mungkin akan terjadi kemerosotan loyalitas terhadap partai, lantaran kecenderungan yang terjadi adalah kuatnya faktor figur dalam menentukan pilihan. Jadi biasa saja saat ini figur yang disukai khalayak pemilih adalah figur yang bukan didukung oleh partai dalam koalisi. Sehingga agak sulit memastikan lantaran tidak adanya jaminan kuat, bahwa seorang pemilih akan sama dengan yang digariskan oleh partai.
Contoh konkret dari hal itu ialah adanya Dewan Pimpinan Daerah yang menyatakan tampil beda dalam hal memberi dukungan. Ada pula dengan kesedian memberi dukungan dengan sejumlah syarat. Tentu saja ini juga merupakan kalkulasi untung rugi politik, yang memang mesti dinyatakan secara terbuka. Itulah sebabnya mengapa negosiasi politik juga sah saja dilakukan. Begitu juga untuk mengadakan kolaborasi politik. Termasuk untuk membentuk koalisi partai.
Kalau itu tidak dilakukan, maka pertanyaannya ialah buat apa memdirikan partai politik kalau bukan untuk berbagi kekuasaan. Mustahil suatu partai politik tidak berharap adanya pembagian kekuasaan itu. Apalagi partai besar seperti partai Golkar, wajar sajalah kalau misalnya Mega-Akbar membuat suatu konsensus, agar kader-kader partai memperoleh posisi dipemerintahan, kalau ternyata lawan politik yang jadi pemenang itu sungguh-sungguh terpilih.
Itulah dunia politik, yang walau katanya penuh misteri. Hanya saja yang kita tidak suka ialah bila di dalam berbagi kekuasaan itu, ternyata yang muncul ialah hasrat berkuasa yang kemudian bertindak dan berbuat semena-mena dan tidak memperdulikan rakyat banyak ini. Bahwa kebanyakan dari kita manusia ini justru seringkali menjadi pongah sesudah diberi mandat oleh rakyatnya. Banyak kejadian lupa kacang dikulitnya, kesudahannya politik itu menjadi coreng moreng.
Tentu saja harapan kita, politisi yang dukduk diparlemen hasil pilihan kita secara langsung adalah orang-orang yang memang pantas mewakili kita. Termasuk kelayakan mereka sebagai politisi yang mempunyai orientasi memajukan rakyat. Begitu juga para politisi yang misalnya duduk di kursi-kursi kabinet. Mudah-mudahan saja adalah orang-orang profesional dan punya kompetensi bukan saja kepolitikan tetapi juga kompetensi kerakyatan.
Mereka itu juga kita harapkan adalah figur-figur yang tidak cuma memenuhi hasrat kekuasaannya tetapi adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tulus mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh rakyat Indonesia, peduli terhadap nasib bangsa, dan nestapa kemanusiaan. Sebab reformasi menyeluruh itu tidak cuma menuntut perubahan paradigma tetapi juga menuntut perubahan pola perilaku yang lebih santun, lugas, dan manusiawi.
Koalisi
Mengisi jabatan-jabatn strategis atau kursi-kursi kabinet hasil koalisi, sudah tentu akan ditempati oleh sejumlah politisi dari berbagai partai politik yang ada. Gabungan dari mereka yang berasal dari partai inilah kemudian terbentuk koalisi pemerintahan. Di mana warna pemerintahan tidak ditentukan oleh satu partai berkuasa. Tetapi ditentukan oleh banyak partai yang mempunyai tujuan sama. Kemudian dikenal dengan pemerintahan koalisi.
Sementara pemerintahan koalisi ini juga biasa saja muncul dari gabungan kekuatan sipil dan militer. Hal terakhir ini lebih menekankan pada penggabungan sejumlah orang dalam kabinet secara berimbang. Fungsi penyeimbang ini pulalah kemudian yang memberi makna pada Dwifungsi TNI. Namun sayangnya melalui Dwifungsi TNI itu pula muncul anggapan melebarnya fungsi politik militer dalam kehidupan pemerintahan dan negara. Hal ini yang seringkali dipersepsi secara tidak sama, sehingga kehadiran Dwifungsi TNI menghadirkan antipati. Sebab yang tidak disukai ialah penerapan doktrin Dwifungsi TNI, dengan mengatasnamakan korps TNI lengkap dengan segala atribut kemiliterannya.
Padahal maksud dari pada Dwifungsi TNI, (dulu Dwifungsi-ABRI) hanyalah merupakan kekuatan penyeimbang. Sehingga pemerintahan tidak didomisasi oleh orang-orang dari kalangan militer, tetapi diusahakan agar peranan masing-masing berjalan secara proporsional. Kalau kemudian ternyata diselewengkan, maka hal inilah yang perlu sama-sama kita benahi kembali. Sehingga militer tidak melibatkan institusi TNI, masuk kebidang-bidang politik lebih luas. Ini pula agaknya perlu di persepsi secara sama.
Dalam kontek koalisi parta, selain untuk memngumpulkan perolehan suara mayoritas, juga akan ada sejumlah orang dari partai yang berbeda menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Biasanya suatau partai politik yang memilih berkoalisi tidak akan menjadi opposan terhadap pemerintah, lantaran orang-orang dari partai politik yang berkoalisi juga terlibat dalam menjalankan kebijakan pemerintahan.
Baik pemerintahan koalisi, maupun partai koalisi, sama-sama merupakan hasil dari suatu penggabungan suara partai-partai yang duduk di kursi eksekutif maupun yang duduk dikursi legislatif atau diparlemen. Kekuatan ini jelas, akan memperkuat suara dalam mengambil suatu keputusan politik yang dilakukan oleh pemerintah. Penggabungan suara partai-partai ini dapat dilakukan untuk misalnya mendukung kebijakan pemerintah atau menolak suatau kebijakan yang akan dilaksankan oleh pemerintah.Bilamana kebijakan itu nyata-nyata merugikan rakyat banyak. Contoh lain misalnya menolak Rancangan Undang Undang (RUU) TNI, bila memang dipandang peranan militer memasuki wilayah-wilayah yang terlalu lebar dan meluas menjalankan fungsi sosial politiknya, adalah urusan legislatif di parlemen.
Dengan adanya koreksi semacam itulah, perlu bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang akan dimplementasikan. Termasuk meninjau ulang RUU yang diusulkan pemerintah, bila anggota Dewan tidak berkenan terhadap materi undang-undang tersebut.. dengan sejumlah orang yang akan duduk dikabinet, pemerintah mudah goyah. Koalisi partai bisa juga dilakukan dalam lembaga parlemen. Misalnya partai Golkar- PDIP bisa saja berkoalisi di lembaga perwakilan rakyat. Koalisi tiada lain ialah kombinasi dari sejumlah partai politik. Hasil dari kombinasi ini dapat menciptakan suara mayoritas. Dengan suara mayoritas jelas akan dapat memperjuangkan tujuan bersama.
Dalam konteks di atas itu, koalisi partai ini juga dimungkinkan dan bisa saja terjadi. Hanya saja bentuknya barangkali akan sangat berbeda. Kalau koalisi partai dimaksudkan untuk menggabungkan suara partai itu artinya anggota parlemen yang membentuk koalisi dapat mendukung kebijakan pemerintah. Termasuk untuk membela pemerintah bila kepentingan negara berada dalam situasi bahaya. Sehingga pemerintahan menjadi kuat karena mendapat legitimasi dari mayoritas legislatif di parlemen. Begitu kira-kira.

Penulis Bekerja Pada Pusdiklat Regional Bukittinggi