Oleh Aminuddin Siregar
Indonesia, seperti halnya negara-negara yang menganut sistem multi partai, pembentukan koalisi partai, bukanlah suatu dosa politik, melainkan suatu langkah positif dan biasa terjadi dalam setiap kehidupan politik. Jadi pendeklarasian koalisi kebangsaan yang diprakarsai partai Golkar, boleh-boleh saja. Biasanya, koalisi diperlukan ketika pemerintahan menghadapi situasi gawat dan dianggap membahayakan negara. Walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk maksud mencapai tujuan lain oleh pihak yang berkoalisi.
Benar, bahwa pelaksanaan koalisi partai ini, memang tidak semudah yang dibayangkan, lantaran banyak ganjalan, rintangan dan hambatan politik termasuk hadirnya pressure dari segala arah penjuru politik. Karena itu dalam pembentukan koalisi dibutuhkan energi yang tidak sedikit. Dibutuhkan kekuatan massa pendukung yang besar, perlu komunikasi politik, sekaligus tindakan-tindakan simbolis, seperti menggalang pertemuan. Termasuk di dalamnya kekuatan electoral college, yang akan menentukan derajat pembuatan konsensus politik.
Dengan kata lain, pembentukan koalisi sangat mungkin dilakukan baik oleh partai maupun oleh kekuatan lain yang mempunyai tujuan yang sama. Termasuk untuk mengumpulkan suara partai dalam pemenangan pemilihan umum (pemilu) presiden maupun untuk maksud pembentukan kabinet atau untuk mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Pemerintahan koalisi inilah yang seringkali dibentuk atas dasar kesepakatan berbagi kekuasaan antar kekuatan politik yang ada.
Dalam kontes itu, proses berkoalisi selain melibatkan banyak pemimpin politik atau elit politik dari berbagai unsur. Juga hampir dapat dipastikan adanya keterlibatan tokoh politik yang berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Sebab mereka inilah antara lain yang dianggap mampu mendorong terjadinya proses reformasi. Biasanya mereka ini juga adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas politik yang baik, di mana pernyataan-pernyataan mereka selalu mendapat perhatian dari khalayak ramai.
Selain itu, kekuatan posisi tawar partai politik juga akan sangat mempengaruhi bagi kelangsungan koalisi partai. Karena di dalam setiap langkah politik yang dilakukan partai, hitungan politiknya mestilah jelas benar. Tidak ada satu hal pun yang tertinggal atau mungkin terlupakan, ketika tawaran politik diajukan. Soal siapa yang melakukannya memang bisa saja bukan ketua umum partai. Tetapi, lazimnya peranan ketua partai sangatlah menentukan sepak terjang dan langkah politik partai ke depan.
Persoalannya, apakah melalui koalisi partai ini calon presiden akan memperoleh suara mayoritas, sementara pemilihan langsung, kelihatannya tidak mengikat setiap anggota partai dalam menetapkan pilihannya ? Koalisi tentu saja sah-sah saja adanya, dan mungkin ada semacam keharusan bagi suatu partai politik untuk melakukannya. Sebab untuk membentuk koalisi berarti dapat mempertegas keberadaan partai baik diparlemen maupun dikursi kabinet.
Bahaya Politis
Pemilihan umum presiden secara langsung, bagaimanapun juga akan tetap menimbulkan dampak dan bahaya politis terhadap perpolitikan kita. Meskipun tidak menjadi ancaman serius bagi partai. Salah satunya mungkin akan terjadi kemerosotan loyalitas terhadap partai, lantaran kecenderungan yang terjadi adalah kuatnya faktor figur dalam menentukan pilihan. Jadi biasa saja saat ini figur yang disukai khalayak pemilih adalah figur yang bukan didukung oleh partai dalam koalisi. Sehingga agak sulit memastikan lantaran tidak adanya jaminan kuat, bahwa seorang pemilih akan sama dengan yang digariskan oleh partai.
Contoh konkret dari hal itu ialah adanya Dewan Pimpinan Daerah yang menyatakan tampil beda dalam hal memberi dukungan. Ada pula dengan kesedian memberi dukungan dengan sejumlah syarat. Tentu saja ini juga merupakan kalkulasi untung rugi politik, yang memang mesti dinyatakan secara terbuka. Itulah sebabnya mengapa negosiasi politik juga sah saja dilakukan. Begitu juga untuk mengadakan kolaborasi politik. Termasuk untuk membentuk koalisi partai.
Kalau itu tidak dilakukan, maka pertanyaannya ialah buat apa memdirikan partai politik kalau bukan untuk berbagi kekuasaan. Mustahil suatu partai politik tidak berharap adanya pembagian kekuasaan itu. Apalagi partai besar seperti partai Golkar, wajar sajalah kalau misalnya Mega-Akbar membuat suatu konsensus, agar kader-kader partai memperoleh posisi dipemerintahan, kalau ternyata lawan politik yang jadi pemenang itu sungguh-sungguh terpilih.
Itulah dunia politik, yang walau katanya penuh misteri. Hanya saja yang kita tidak suka ialah bila di dalam berbagi kekuasaan itu, ternyata yang muncul ialah hasrat berkuasa yang kemudian bertindak dan berbuat semena-mena dan tidak memperdulikan rakyat banyak ini. Bahwa kebanyakan dari kita manusia ini justru seringkali menjadi pongah sesudah diberi mandat oleh rakyatnya. Banyak kejadian lupa kacang dikulitnya, kesudahannya politik itu menjadi coreng moreng.
Tentu saja harapan kita, politisi yang dukduk diparlemen hasil pilihan kita secara langsung adalah orang-orang yang memang pantas mewakili kita. Termasuk kelayakan mereka sebagai politisi yang mempunyai orientasi memajukan rakyat. Begitu juga para politisi yang misalnya duduk di kursi-kursi kabinet. Mudah-mudahan saja adalah orang-orang profesional dan punya kompetensi bukan saja kepolitikan tetapi juga kompetensi kerakyatan.
Mereka itu juga kita harapkan adalah figur-figur yang tidak cuma memenuhi hasrat kekuasaannya tetapi adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tulus mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh rakyat Indonesia, peduli terhadap nasib bangsa, dan nestapa kemanusiaan. Sebab reformasi menyeluruh itu tidak cuma menuntut perubahan paradigma tetapi juga menuntut perubahan pola perilaku yang lebih santun, lugas, dan manusiawi.
Koalisi
Mengisi jabatan-jabatn strategis atau kursi-kursi kabinet hasil koalisi, sudah tentu akan ditempati oleh sejumlah politisi dari berbagai partai politik yang ada. Gabungan dari mereka yang berasal dari partai inilah kemudian terbentuk koalisi pemerintahan. Di mana warna pemerintahan tidak ditentukan oleh satu partai berkuasa. Tetapi ditentukan oleh banyak partai yang mempunyai tujuan sama. Kemudian dikenal dengan pemerintahan koalisi.
Sementara pemerintahan koalisi ini juga biasa saja muncul dari gabungan kekuatan sipil dan militer. Hal terakhir ini lebih menekankan pada penggabungan sejumlah orang dalam kabinet secara berimbang. Fungsi penyeimbang ini pulalah kemudian yang memberi makna pada Dwifungsi TNI. Namun sayangnya melalui Dwifungsi TNI itu pula muncul anggapan melebarnya fungsi politik militer dalam kehidupan pemerintahan dan negara. Hal ini yang seringkali dipersepsi secara tidak sama, sehingga kehadiran Dwifungsi TNI menghadirkan antipati. Sebab yang tidak disukai ialah penerapan doktrin Dwifungsi TNI, dengan mengatasnamakan korps TNI lengkap dengan segala atribut kemiliterannya.
Padahal maksud dari pada Dwifungsi TNI, (dulu Dwifungsi-ABRI) hanyalah merupakan kekuatan penyeimbang. Sehingga pemerintahan tidak didomisasi oleh orang-orang dari kalangan militer, tetapi diusahakan agar peranan masing-masing berjalan secara proporsional. Kalau kemudian ternyata diselewengkan, maka hal inilah yang perlu sama-sama kita benahi kembali. Sehingga militer tidak melibatkan institusi TNI, masuk kebidang-bidang politik lebih luas. Ini pula agaknya perlu di persepsi secara sama.
Dalam kontek koalisi parta, selain untuk memngumpulkan perolehan suara mayoritas, juga akan ada sejumlah orang dari partai yang berbeda menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Biasanya suatau partai politik yang memilih berkoalisi tidak akan menjadi opposan terhadap pemerintah, lantaran orang-orang dari partai politik yang berkoalisi juga terlibat dalam menjalankan kebijakan pemerintahan.
Baik pemerintahan koalisi, maupun partai koalisi, sama-sama merupakan hasil dari suatu penggabungan suara partai-partai yang duduk di kursi eksekutif maupun yang duduk dikursi legislatif atau diparlemen. Kekuatan ini jelas, akan memperkuat suara dalam mengambil suatu keputusan politik yang dilakukan oleh pemerintah. Penggabungan suara partai-partai ini dapat dilakukan untuk misalnya mendukung kebijakan pemerintah atau menolak suatau kebijakan yang akan dilaksankan oleh pemerintah.Bilamana kebijakan itu nyata-nyata merugikan rakyat banyak. Contoh lain misalnya menolak Rancangan Undang Undang (RUU) TNI, bila memang dipandang peranan militer memasuki wilayah-wilayah yang terlalu lebar dan meluas menjalankan fungsi sosial politiknya, adalah urusan legislatif di parlemen.
Dengan adanya koreksi semacam itulah, perlu bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang akan dimplementasikan. Termasuk meninjau ulang RUU yang diusulkan pemerintah, bila anggota Dewan tidak berkenan terhadap materi undang-undang tersebut.. dengan sejumlah orang yang akan duduk dikabinet, pemerintah mudah goyah. Koalisi partai bisa juga dilakukan dalam lembaga parlemen. Misalnya partai Golkar- PDIP bisa saja berkoalisi di lembaga perwakilan rakyat. Koalisi tiada lain ialah kombinasi dari sejumlah partai politik. Hasil dari kombinasi ini dapat menciptakan suara mayoritas. Dengan suara mayoritas jelas akan dapat memperjuangkan tujuan bersama.
Dalam konteks di atas itu, koalisi partai ini juga dimungkinkan dan bisa saja terjadi. Hanya saja bentuknya barangkali akan sangat berbeda. Kalau koalisi partai dimaksudkan untuk menggabungkan suara partai itu artinya anggota parlemen yang membentuk koalisi dapat mendukung kebijakan pemerintah. Termasuk untuk membela pemerintah bila kepentingan negara berada dalam situasi bahaya. Sehingga pemerintahan menjadi kuat karena mendapat legitimasi dari mayoritas legislatif di parlemen. Begitu kira-kira.
Penulis Bekerja Pada Pusdiklat Regional Bukittinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar